Minggu, 31 Oktober 2010

Catatan Relawan 31 Oktober

Untuk pertama kalinya, kami mendapat guyuran hujan abu dan menyaksikan evakuasi pengungsi. Saat itu kami baru saja menyuplai kebutuhan pengungsi di di Boyolali.
***
Minggu pagi, bpk Hendro dari Gugus Tugas Penanggulangangan Bencana GKI Pondok Indah menginformasikan sudah masuk ke wilayah Klaten. Bersama dengan bpk. Tukiyo dan bpk. Egi, bpk Hendro sudah melakukan perjalanan semalaman dari Jakarta. Pukul 8:30, mereka sudah sampai di Gki Klaten. Saya memberikan informasi tentang situasi pengungsi kepada mereka. Tak lama kemudian pak Bambang  Pudyanto bergabung, lalu sarapan nasi bebek di warung ibu Suwarni, Gondang. Tujuan pertama adalah barak pengungsi di Dompol, Kemalang, Klaten. Saat melintasi pos pengungsi di Keputran, suasananya seperti pasar malam di siang hari. Spanduk dan umbul-umbul dari berbagai instansi, partai, lembaga dan perusahaan  dipancangkan di berbagai tempat.  Berlomba-lomba mencari paparan mata paling strategis. Wakil Presiden baru saja berkunjung ke tempat ini. Tentu saja tempat ini menjadi strategis. Ironisnya, jumlah pengungsi terlihat sedikit. Ada dua kemungkinan: pengungsi kembali lagi ke rumah mereka pada siang hari untuk mengurus ternak atau memang belum ada pengungsi karena wilayahnya jauh dari ring 1.
Kami terus naik ke barak pengungsi di Dompol. Situasinya sudah lebih baik daripada situasi tiga hari sebelumnya ketika kami di sini. Jumlah bantuan sudah menumpuk, lima kali lipat lebih banyak. Pengelola posko mengakui untuk kebutuhan logistik sudah mencukupi.
Kami meneruskan perjalanan ke Jrakah, Boyolali. Di sana, ternyata pendeta Janoe dan relawab dari GKI Sangkrah sudah sampai lebih dulu. Memakai mobil Elf yang disopiri sendiri oleh pdt. Janoe, GKI Sangkrah menyuplai kebutuhan dapur umum dan perlengkapan pribadi.
Pos Jrakah ini pos kemanusiaan mandiri, yang dikelola oleh Lembaga Bantuan Keamanusiaan Umat Beragama. Sebuah lembaga kerjasama antar iman di Boyolali. Dalam merespon bencana Merapi, pemerintah kabupaten Boyolali ternyata paling keteteran di banding pemerintah kabupaten lain di sekitar Merapi. Masih ada banyak titik yang tidak terjangkau.
Dari bincang-bincang dengan relawan di posko ini, diperoleh informasi sebagai berikut:
Selama 2 tahun ini, LBK-UB telah mendampingi masyarakat untuk program Pengurangan Risiko Bencana. Mereka telah merintis Sistem Peringatan Dini dan terbukti berhasil pada bencana Merapi. Melihat peran pemerintah kabupaten yang minim, maka LBK-UB kemudian bergerak ke wilayah tanggap bencana. Mereka melayani wilayah Jrakah, Klakah dan Lencoh. Agak susah untuk menghitung jumlah pasti pengungsi karena para pengungsi ini tidak tinggal di barak pengungsi dalam waktu yang lama. Pada siang hari mereka kembali ke rumah masing-masing. Setelah malam hari mereka kembali ke barak pengungsian. Jika situasi mereka nilai aman, maka mereka akan segera pulang. Jika situasi berbahaya lagi, mereka bergegas ke barak terdekat. Jadi bisa saja hari pertama mereka mengungsi ke barak A, namun pada hark kedua mereka pergi ke barak B. Situasi ini menyulitkan relawan karena tidak dapat menghutung kebutuhan pengungsi secara akurat. Namun secara kasar, setiap barak biasanya berisi 800-1600 pengungsi. Namun jumlahnya akan bertambah pada malam hari.
Makan siang
Kebutuhan di wilayah ini adalah:
  1. Sarana prasarana dapur umum (Alat masak, kompor, LPG, dll).
  2. Tenda besar
  3. Makanan Siap aji (abon, dendeng, sarden, tempe kering, sambel kering, srundeng), roti
  4. Makanan dan susu (bukan susu formula) untuk anak-anak
  5. Selimut
  6. Tikar
  7. Masker
  8. Obat-obatan.
Selain itu memenuhi kebutuhan dasar pengungsi, posko ini juga melakukan perondaan untuk menjaga aset-aset penduduk. Boyolali adalah pemasok kebutuhan daging dan susu sapi untuk berbagai kota. Warga tidak mungkin membawa serta sapi untuk mengungsi. Itu sebabnya,  tim ini juga menerjunkan relawan, selain menjaga, juga memberi makan ternak.  Istilah lokal adalah "ngarit"
Untuk itu, relawan sendiri juga membutuhkan dukungan berupa:
  1. Senter
  2. Pulsa
  3. Kopi, gula, teh, camilan untuk peronda
  4. BBM
  5. Handy Talkie
  6. Konsumsi
Untuk keperluan Pengurangan Risiko Bencana, masyarakat di desa Tlogolele membutuhkan tower/menara untuk sirene dan pengeras suara.
Bantuan
Sekitar pukul 2 siang, bantuan dari GKI Gereformeed Semarang datang. Dengan dipimpin pdt. Rahmat, mereka membawa bantuan satu mobil box.  Saat sedang menurunkan bantuan, tiba-tiba suara handy-talkie milik posko berubah nada. Alat komunikasi ini sengaja digunakan untuk memantau seismograf yang ada di puncak merapi. Dalam situasi normal, HT ini mengeluarkan suara monoton seperti suara uap milik penjual kue puthu. Ketika terjadi aktivitas vulkanik, maka nada suaranya akan berubah seperti suara gemuruh. Kontan relawan yang ada di posko segera keluar rumah dan memandang ke arah puncak merapi. Saat itu sedang turun gerimis dan diliputi oleh mendung tebal. Karena tidak bisa memantau secara visual, para relawan mencari kabar ke posko lain. Mereka mendapatkan kepastian bahwa terjadi erupsi lagi. Tak berapa lama terdengar suara sirene meraung-raung. Rupanya berasal dari truk polisi yang bergegas menuju wilayah pemukiman penduduk. Sementara dari arah lain, beberapa mobil pick up yang sarat muatan warga melaju menuju Tempat Pemampungan Akhir.
Evakuasi
Kami memutuskan untuk segera berpamitan supaya relawan di posko Jrakah ini bisa segera memberikan bantuan kepada warga. Mobil milik Pondok Indah turun ke arah Blabak, Magelang. Saya menumpang mobil Elf GKI Sangkrah yang dikemudikan oleh pdt. Janoe. Sepanjang jalan pulang, kami menyaksikan situasi genting warga yang mengungsi. Ada yang berjalan kaki sambil menggendong perbekalan, ada yang naik sepeda motor, ada yang naik mobil pick up.
Anehnya, kendaraan yang berasal dari bawah (Boyolali) justru telah tertutup debu yang sangat tebal. Pada saat yang bersamaan hujan gerimis. Para pengendara sepeda motor menggunakan mantel serba putih karena tertutup debu. Abu vulkanik mulai mengotori kaca depan mobil kami. Celakanya, saat akan dibersihkan, tangki air untuk semprotan wiper ternyata kosong. Sebagai tindakan darurat, kami menjulurkan tangan keluar kaca untuk mengguyur kaca mobil dengan air minum kemasan gelas.  Sesampai di Boyolali, kami mampir ke SPBU untuk mengisi tangki wiper.  Namun sudah terlambat karena perjalanan selanjutnya menuju Klaten tidak terguyur debu sama sekali.
Photobucket
Debu Abu abu-abu
Photobucket
Jalan utama Boyolali
Photobucket
Pasar Cepogo
Abu
Membersihkan kaca
__________________All About Writings

Jumat, 29 Oktober 2010

Respons Merapi 29 Oktober

Tanggal 29 Oktober, Tim Tanggap Bencana Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Tengah kembali menyalurkan bantuan. Dengan menggandeng Pundi Amal SCTV, tim Medis Obor Berkat Indonesia dan Gereja Kristen Jawa di Klaten, kami meluncur ke lereng utara Merapi. Tujuannya menyisir para pengungsi yang belum terjamah bantuan karena ketiadaan liputan media. Kali ini kami juga membawa kontributor Liputan 6 SCTV.
Cerita selengkapnya akan ditambahkan kemudian setelah saya beristirahat dan pikiran menjadi segar. Berikut ini foto-foto para laskar pahlawan kesiangan:
Photobucket
Puncak Merapi dilihat dari Selo
Update:

Malam sebelumnya, pdt. Sugeng menginformasikan bahwa tim medis dari Obor Berkat Indonesia (OBI) minta diantar ke wilayah yang belum dijamah bantuan. Sehari setelah erupsi pertama, mereka sudah membawa 30 dokter ke Yogya. Namun setelah melihat bahwa suplai tenaga medis di Yogya sudah memadai maka sebagian besar dokter langsung berangkar ke Mentawai, menyisakan 4 dokter.

Saya merencanakan mengajak mereka untuk melayani di Boyolali, yaitu di pos pengungsian mandiri yang diampu oleh Lembaga Bakti Kemanusiaan Umat Beragama (LBK-UB) Boyolali.
Photobucket


Sudah ada bantuan 50 box Aqua gelas dan 50 bal mie kering, biskuit, dan kasur. Saya menghubungi pdt. Sutomo untuk mengirimkan relawan dan mobil pick up. Dari pdt. Simon Julianto, yang menjadi koordinatoe LBK-UB didapat informasi bahwa yang dibutuhkan pengungsi adalah hygiene kit dan makanan siap santap. Maka kami kemudian berbelanja sabun, pasta gigi, sikat gigi, sabun colek, obat anti diare dan obat tetes mata. Tak lupa membeli bahan makan untuk keperluan dapur umum seperti beras, ikan asin, abon, kecap, bumbu dll. Dibutuhkan satu pick up lagi untuk mengangkutnya. Koh Yoyok mendapatkan pinjaman pick up grand max dari sebuah paguyuban tionghoa. Mobilnya masih gres. Angka di speedometernya saja baru tertera 150 km. Sambil menyerahkan mobil, koh Yoyok mewanti-wanti, “Mas Wawan, mobil ini masih baru. Hati-hati ya.”
Pukul 10, tim OBI sampai di Klaten. Mereka juga membawa tim Pundi Amal SCTV. Rencana perjalanan bergeser sedikit karena kami harus menjemput kontributor SCTV di Delanggu. Rutenya agak melambung ke kanan, melalui Sawit, Pengging, Mojosongo, Boyolali dan berhenti di kantor LBK-UB di jalan ke Selo km 2. Di sini, kami mendapatkan paparan tentang situasi terkini dari pdt. Simon. Mereka melayani warga di wilayah Jrakah, Klakah dan Tlogolele yang luput dari perhatian pemerintah.
Setelah makan siang, rombongan segera mendaki punggung Merbabu menuju Selo, melewati Cepogo. Sesampai di desa Jrakah, kami berhenti sejenak di pos LBK-UB untuk menunggu 2 mobil pick up yang terseok-seok karena sarat muatan. Karena waktu yang terbatas, kami memutuskan meninggalkan 2 mobil itu di pos Jrakah. Sementara 4 mobil berisi sekitar 20 penumpang melanjutkan perjalanan ke gunung Merapi. Tujuan pertama kami adalah ke Tlogolele. Medannya tidak mudah. Kami melewati jalan aspal yang sudah berlobang sana-sini dengan tanjakan dan turunan dan tajam. Kami juga harus melewati kali Apu, yang menjadi jalur aliran lahar Merapi. Saat menyeberang, rombongan harus ekstra waspada sebab sewaktu-waktu bisa diterjang lahar panas atau dingin.
Ternyata tidak banyak pengungsi yang ada di ini karena mereka kembali ke rumah mereka pada siang hari. Baru pada malamnya, mereka akan kembali ke Tempat Pengungsian Sementara (TPS). Perjalana diteruskan ke Srengi. Di sini pun tidak ada pengungsi yang terlihat sehingga tim medis OBI tidak bisa segera beraksi.
Matahari sudah bergulir ke Barat. Kami bergegas ke Sewukan, kecamatan Dukun, Magelang . Di sini ada 1115 pengungsi yang berjejal di kelas-kelas SD. Kondisinya memprihatinkan. Belum ada dapur umum. MCK dan air bersih juga tidak memadai. WC untuk pria hanya berupa selokan yang ditutup dengan spanduk bekas.
Mereka baru mendapat bantuan pada hari ke-3 setelah bencana. Ada mie gratis dari pabrik mie instan. Ada mobil van milik satu operator seluler. Namun saya tidak tahu kegiatan mereka di sana, apakah menyediakan sambungan komunikasi atau menyalurkan bantuan. Ada juga spanduk dari maskapai penerbangan nasional. Setelahs aya tengok ke gudang, ada dos-dos yang ditenpeli fotokopian logo maskapai. Rupanya mereka menyuplai bantuan, memasang spanduk besar lalu ditinggal pergi. Praktik seperti ini lazim ditemui dalam kebencanaan. Mereka kirim bantuan, pasang penanda kehadiran, lalu ditinggal pergi, tanpa ada follow up (Ah jadi teringat salah satu hewan yang mengencingi tempat tertentu sebagai penanda teritorialnya).
Tim medis OBI mengadakan pembicaraan dengan pengelola barak pengungsi. Saat kami datang, sedang ada pelayanan kesehatan dari tim medis Rumah Zakat. Namun mereka hanya bisa melayani sampai pukul 15. Setelah itu tidak ada tim medis yang bersiaga. Dengan kondisi ini, tim OBI datang tepat waktu karena mengisi kekosongan di Sewukan ini. Namun persoalannya tidak semudah itu. Ternyata kantributor SCTV keberatan untuk melakukan peliputan karena barak pengungsi itu berada di wilayah Magelang. Sementara wilayah peliputannya adalah di Boyolali dan Klaten. Hal ini berimbas kepada Pundi Amal SCTV. Tanpa liputan dari wartawan, mereka juga enggan beroperasi. Seperti kartu domino, efek ini mengimbas kepada tim medis OBI. Tanpa dukungan dari Pundi Amal, tim OBI juga kesulitan beroperasi karena meskipun secara struktural berbeda kelembagan, namun mereka memiliki kerjasama yang erat. Muncul kebingungan selama beberapa saat. Sementara itu, udara di barak pengungsian terasa sangat panas, padahal berada di dareah yang sangat tinggi. Kami menduga hawa panas ini dampak dari lava Merapi yang terlihat jelas dari barak ini.
Photobucket
Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke wilayah Boyolali. Di desa Tlogolele, kami membuka pos pelayanan kesehatan dadakan. Padahal belum ada pasien yang akan dilayani. Salah satu warga berinisiatif mengumumkannya dari corong di masjid. Tak lama kemudian, warga berdatangan. Kontributor SCTV segera merekam gambar dan melakukan wawancara. Anak-anak yang sehat juga dikumpulkan untuk diperiksa. Mereka diberi vitamin dan minuman enegi. Tentu saja mereka senang. Beberapa warga manula yang karena tubuhnya lemah tidak bisa datang ke pelayanan kesehatan dijemput dengan mobil. Di sini terjadi insiden kecil. Bagi desa itu, jarang sekali ada mobil. Maka ketika ada mobil datang, anak-anak merubung mobil. Jari (6 tahun), ikut-ikutan melongok ke dalam mobil. Salah satu tangannya menempel pada pinggiran pintu yang terbuka. Tiba-tiba salah satu warga menutup pintu mobil dan menjepit tangan Jari. Jari menjerit kesakitan sambil memegang jari-jarinya. Namun ketika diajak untuk memeriksakan ke dokter, Jari menolak. Relawan berkali-kali membujuk, tapi Jari bergeming. Dengan perasaan tidak enak, Relawan mengantarkan pasien manula ke pos pelayanan kesehatan.
Pemeriksaan kesehatan berakhir menjelang Maghrib. Setidaknya ada 70 warga yang mendapat pelayanan kesehatan. Rombongan lalu dibagi dua. Rombongan Pundi Amal SCTV dan tim medis OBI pulang ke Jogja melalui Blabak. Sedangkan tim dari Boyolali dan Klaten menelusuri jalur semula. Kami harus mengambil kembali mobil pick up yang ditinggalkan di Jrakah.
Sampai di Klaten pukul 20 dengan kondisi capek dan kelaparan. Kebetulan di gereja ada acara Bulan Keluarga dan masih ada sisa timlo. Tanpa dipersilakan, kami langsung menyikat timlo.
Wawancara
Photobucket --------------- Photobucket ----------------- Photobucket
__________________All About Writings

Minggu, 10 Oktober 2010

Catatan Relawan 2-6 Nopember


Hmm...sudah lima hari aku tidak menuliskan pengalaman harianku selama menjadi relawan tanggap bencana ini. Apa ya yang masih kuingat? Dimulai saja deh dari rapat koordinasi di antara GKI yang terjun dalam tim tanggap bencana ini, Selasa 2 Nop.  Ternyata, walau sama-sama bertujuan kemanusiaan, namun untuk menyatukan gerak di antara kami itu bukan perkara mudah. Ada berbagai variabel yang harus diurai untuk memahami keruwetan ini. Kadang variabel itu tampak konyol dan menggelikan, tapi itu nyata.

Usai rapat, aku segera mengantarkan ibu Inge Susanti, Doni (ini cewek), pak Gatot dan pak Mugi (dari GKI Cinere) menuju GKI Muntilan.  Dalam istilah percandaan di antara relawan, aku sedang menjalankan tugas sebagai "Disaster Tour Leader." Mohon maaf, istilah ini bukan bermaksud untuk menyindir. Kami tahu beberapa orang dan jemaat itu bertipe "Tomas" yang berpinsip, "Kalau aku tidak mencucukkan jariku ke lluka obang bekas paku itu, sekali-kali aku tidak akan percaya."  Demikian juga dalam bencana ini beberapa lembaga yang mengutus beberapa orang untuk mengadakan "survei" terlebih dulu, untuk data-datanya kemudian dibawa dalam rapat, baru kemudian diputuskan akan menyumbang berapa,:atau tepatnya, sebelumnya diputuskan lebih dulu akan menyumbang atau tidak. Demi pengumpulan dana, maka kami akan mengantarkan tim survei ini dengan senang hati.
Tengah hari kami melaju ke Muntilan untuk menemui ko Hwie Lip yang menjadi koordinator di pos kemanusiaan GKI Muntilan. Sesampai kami di sana, ternyata ko Hwie Lip sedang keluar, sehingga kami harus menunggu. Padahal kami harus segera ke Jrakah untuk menemui pdt. Simon Julianto di Jrakah. Setengah jam kemudian, ko Hwie Lip datang. Kami lalu membahas beberapa hal tentang tanggap bencana secara cepat karena waktu sudah mendesak. Sayangnya, kami tidak bisa segera bergerak ke Jrakah karena harus menunggu Herry Ketaren dari Litkom PGI. Dia ingin mewawancarai aku untuk program televisi, tapi harus di lokasi bencana. Saat pak Herry sampai di Muntilan, ternyata kami tidak segera beringsut ke Jrakah karena pak Herry meminta waktu selama 10 menit untuk wawancara dengan ko Hwi Liep. Dalam praktiknya, wawancara itu berlangsung lebih dari 30 menit. Aku sudah gelisah karena pdt. Simon sudah mengirimkan SMS, "Sampai dimana?"
Selepas pukul 15, kami meluncur ke arah Sawangan dengan perasaan berdebar-debar karena sewaktu-waktu jalan menuju Jrakah dapat ditutup jika terjadi erupsi besar lagi.  Menjelang Magrib, rombongan sampai di Jrakah, di pos LBKUB. Pada saat yang bersamaan, datang pula rombongan para suster dari Solo yang juga menyalurkan sumbangan. Kami berbincang selama 2 jam, sebelum akhirnya berpamitan menuju Klaten. Setelah bersantap malam dan mengantarkan tamu ke penginapan, saya segera pulang dan terlelap seperti bayi.
***
Aktivitas Rabu(3 Nop)  pagi dan siang lebih banyak dilakukan di pos GKI Klaten. Sorenya, tim seni dari GKJ Pedan mengadakan pertunjukan badut sulap dan lawak Punakawan di barak pengungsi Bawukan.  Pukul 16, Merapi erupsi kembali dangan skala besar. Ini menimbulkan kepanikan di barak Dompol dan Bawukan. Mereka mengungsi turun ke bawah. Salah satunya di balai desa Kepurun, Manisrenggo Klaten. Di sini ada 1403 pengungsi. Karena pemerintah desa tidak siap, maka para pengungsi tidak mendapat makan malam.  Untuk mengganjal perut, pengungsi hanya makan biskuit dan mie instan mentah. Malam itu juga kami segera memasok 100 kg beras. 21 tikar, 3 dus biskuit dan 27 karton mie instan.
Sampai di rumah sudah menjelang tengah malam. Aku segera mengoperasikan SMS Centre untuk mengirimkan seruan kepada anggota jemaat supaya menyiapkan nasi bungkus pada pagi hari. Alhamdulillah, jemaat merespon dengan baik. Ketika aku belum bangun, ternyata mereka sudah masak dan saling terkoordinasi. Sampai pukul 8 pagi, telah terkumpul sekitar 200 nasi bungkus yang segera kami larikan ke barak pengungsi di Kepurun.
Kamis sore, aku mengajak relawan di Klaten untuk emgadakan koordinasi dengan GKI Boyolali. Mereka baru akan membuka pos kemanusiaan meski sudah terlambat seminggu lebih. Baru 30 menit rapat, Merapi menunjukkan peningkatan aktivitas lagi. Didapat kabar bahwa pengungsi mulai masuk kota Boyolalu seiring dengan kebijakan pemerintah yang meningkatkan radius aman dari 15 km menjadi 20 km.  Kami segera berpamitan untuk memberi kesempatan kepada relawan di pos kemanusiaan GKI Boyolali untuk merespons pengungsi. Sampai di Klaten sekitar pukul 20:30. Kami segera pulang dan beristirahat. Namun lewat tengah malam, terdengar suara gemuruh dari arah Merapi. Penduduk yang ada di kecamatan Kemalang mengalami kepanikan dan bergerak turun ke bawah. Muncul berbagai titik-titik pengungsian baru. Malam itu, kami merasa gelisah dan tidak bisa tidur.
Pagi-pagi benar, kami mengerahkan kembali nasi bungkus untuk pengungsi di titik-titik pengungsian baru. Ratusan dampai ribuan pengungsi mulai merambah kota Klaten.
Kami menyiapkan sebuah rumah kosong yang besar milik jemaat untuk menampung para pengungsi. Kami juga membuka aula SMP Kristen untuk menampung pengungsi. Suasana seharian itu terasa kalut, kacau balau dan genting. Melihat situasi ini, tanpa dikomando anggota jemaat bermunculan untuk bergabung menjadi relawan.
Kami sempat menghawatirkan bahwa para pengungsi tidak mendapat cukup makanan, Ternyata perkiraan kami meleset. Gelombang pengungsian ini menimbulkan percikan empati dan solidaritas dari warga masyarakat yang tidak terkena bencana. Mereka ramai-ramai menyediakan nasi bungkus sehingga jumlahnya lebih dari cukup.
Hari Sabtu, kami mengerahkan enam dapur umum yang dikelola oleh ibu-ibu di GKI Klaten, GKJ Klaseman dan GKJ Gondangwinangun. Ada dua tempat pengungsian yang harus kami cukupi kebutuhannya yaitu di sebelah GOR Gelarsena dan di Aula SMP Kristen Klaten. Selain dari masak sendiri, sore itu kami mendapat kiriman 1000 nasi bungkus dari GKJ Wonosari dan 400 bungkus dari seorang teman di Solo.  Total ada 2437 bungkus. Kami lalu membagikannua ke Somokaton 75 bungkus,Keputran 500 bungkus, Jiwan 877 bungkus,Gergunung 30 bungkus, Jonggrangan 108 bungkus, SMP Kristen 155 bungkus, Jogonalan 200 bungkus,Prambanan 800 bungkus. Masih ada sisa sekitar 1500 bungkus untuk diteruskan ke Depo (Pusat Komando Pendidikan dan Latihan Tempur).  Mereka bersedia menerima nasi bungkus sebanyak itu.  namun begitu sampai di sana, ternyata ada satu truk tentara yang baru saja datang membawa ribuan nasi bungkus.
Kami menjadi kebingungan bagaimana menyalurkan ribuan nasi bungkus dalam semalam. Kami tawarkan ke GOR Gelarsena yang dikelola pemerintah kabupaten, ternyata di sana sudah melimpah. Maka kami putuskan untuk membawa nasi itu naik ke alereng Merapi di kecamatan Karangnongko. Ternyata bantuan tersebut diterima dengan sukacita. Ketika baru saja menurunkan nasi bungkus, tiba-tiba kami ditelepon teman dari Prambanan yang mnta 500 nasi bungkus. Tentu saja kami kelabakan karena nasi bungkus yang terakhir sudah diberikan ke pengungsi. Rupanya ada pengungsi di Bokoharjo yang belum makan.
Apa boleh buat, kami lalu menyisir ke beberapa tempat pengungsian untuk mengumpulkan kelebihan makanan. Puji Tuhan, ternyata terkumpul 400 nasi bungkus yang kemudian diambil sendiri oleh warga di dusun Bokoharjo.
Hari Minggu besok, kami menurunkan "produksi" karena memperkirakan hari Minggu itu menjadi puncak "euforia" bantuan Merapi. Pada hari libur ini, kemungkinan akan ada banyak bantuan dari kota lain. Untuk itulah, kami mengistirahatkan dapur umum, sembari memberi kesempatan kepada mereka untuk beribadah Minggu.

GKI SW Jateng GKI KlatenBlog WawanNulis Yuk