Posted by Purnawan Kristanto on/at 18.36
Ketika melakukan kuliah praktik lapangan semasa menjadi mahasiswa, Pelangi (isteriku sekarang) menempati sebuah rumah secara sendirian. Suatu malam, ada seekor kucing yang mencoba menerobos pagar rumah yang cukup tinggi, tapi gagal. Kucing itu terjepit di sela-sela pagar. Tidak bisa maju, tidak bisa mundur.
Pelangi merasa kasihan, lalu mengulurkan tangan untuk melepaskan kucing dari jepitan pagar. Tiba-tiba kucing itu mencakar tangan Pelangi hingga berdarah. Meski dengan menahan sakit Pelangi berhasil membebaskan kucing itu. Kucing itu pun segera berlari menjauh. Maksud baik tidak selamanya diterima dan dipahami dengan baik.
Pikiran itulah yang tiba-tiba terlintas saat aku berada di atas bis Budiman, dalam perjalanan menuju Tasikmalaya. Misiku ke kota yang terkenal dengan bordirnya itu adalah untuk monitoring pembangunan rumah inti bagi korban gempa. Proyek kemanusiaan ini tidak berjalan mulus. Kami menemui berbagai macam kesulitan, terutama kecurigaan dari pemimpin agama. Akibatnya, proyek ini sempat dihentikan secara paksa oleh massa yang mengatasnamakan kepentingan agama.
***
Sebelum ke Tasikmalaya, aku lebih dulu mengikuti rapat dan siaran di Radio Pelita Kasih yang membuatku begadang sampai fajar. Untunglah rumah mertua di tidak jauh dari studio. Ditambah jalanan yang masih lengang, jarak tempuh hanya sekitar 10 menit. Dengan berjingkat-jingkat aku menyelinap ke pintu dapur yang sengaja tidak dikunci. Namun tak urung membangunkan mama mertua. Setelah bersih-bersih badan, aku merebahkan badan dan larut dalam lelap.
Saat matahari bertengger di puncak kepala, barulah aku terjaga, lalu disambut oleh segelas teh manis plus kue manis. Hmmm....menantu yang sangat beruntung. Mertuaku tidak pernah mempersoalkan gaya hidup "ala wartawan" yang dianut oleh menantunya ini. Yang dimaksud "wartawan" di sini bukan merujuk sebuah profesi jurnalis, melainkan singkatan dari "warga tangi awan" (warga bangun siang). Setelah makan siang, pada pukul tiga sore, aku bersiap-siap menuju ke terminal bis Kampung Rambutan. Aku melanjutkan perjalanan menuju Tasikmalaya.
Diantar oleh pengojek, pak Rizal, kami diguyur gerimis sepanjang perjalanan tanpa mengenakan jas hujan. Cuaca memang sedang aneh. Bulan Juli yang seharusnya memasuki musim kering, namun masih menyimpan hujan. Lebih ganjil lagi, guyuran hujan ini tidak merata. Dalam jarak seratus meter kadang hujan, kadang kering. Mula-mula, saat didera hujan, kami berteduh. Tapi kemudian kami putuskan untuk tetap melanjutkan apa yang terjadi. Toh, kalau pun bajuku kebasahan, aku membawa ganti di dalam ranselku, demikian pikirku.
Sesampai di terminal, aku segera menaiki bis Budiman yang selama enam jam kemudian menghantarkanku ke Tasikmalaya. Sudah cukup larut ketika aku turun di depan masjid agung Rajapolah di bawah gerimis. Aku berteduh di pos tentara sambil menunggu kedatangan Pak Bambang dan pak Agus Joker, yang menjemputku. Aku menumpang menginap di rumah pak lurah Dodi, setelah sekretariat kami ditutup paksa oleh massa yang mengatasnamakan kelompok agama.
Core House
Keesokan harinya, dengan diantar oleh pak Dodi, aku mengadakan inspeksi ke lapangan. Setelah mengerjakan sejak bulan Februari, kami sudah merampungkan 33 dari 36 rumah inti yang kami rencanakan. Mungkin Anda bertanya, apa sih "rumah inti" itu? Rumah inti (core house) adalah adalah sebuah bangunan kecil, berukuran 21 m2 yang dikonstruksi dengan baik sehingga dapat digunakan sebagai tempat berteduh dan memberikan perlindungan yang lebih baik jika terjadi gempa. Disebut "inti" karena bangunan ini dapat dikembangkan lagi sesuai dengan dana yang dimiliki oleh penghuninya.
Proyek ini dikerjakan oleh Derap Kemanusiaan dan Perdamaian [DKP] setelah melihat bahwa penyintas gempa di Jawa Barat banyak yang belum mampu membangun kembali rumah mereka. Meskipun didanai dan dikelola oleh gereja, namun proyek ini bersifat kemanusiaan. Tidak ada muatan penyebaran agama terhadap penerima manfaat.
Tahapan pembangunan fisik sudah dimulai pada hari Senin, [1 Maret 2010] dengan membangun rumah contoh [mock up house]. Rumah contoh ini dibangun di atas lahan milik ibu Opon, seorang janda yang tidak memiliki pekerjaan. Kebutuhan sehari-harinya ditopang oleh anak-anaknya. Dua hari sebelumnya, masyarakat secara bergotong royong membersihkan lokasi dan menggali tanah untuk pondasi.
Dalam pembangunan rumah contoh ini, DKP mendatangkan Alfian yang berpengalaman dalam rekonstruksi di Aceh, paska Tsunami. Alfian ditugasi memberikan petunjuk secara langsung tentang teknis pembuatan rumah yang ramah terhadap gempa. Mengapa disebut "ramah gempa", bukan "tahan gempa"? Kami meyakini belum ada bangunan yang seratus persen tahan gempa yang besar. Untuk itu, kami memilih menggunakan istilah "ramah gempa", yang mengindikasikan rancangan ini cukup aman bagi penghuninya. Pada dasarnya, gempa bumi itu tidak membunuh. Yang mencelakai adalah materi bangunan yang runtuh karena terlalu rapuh. Dengan membangun rumah contoh ini, maka warga dan tukang batu di lokasi dilatih untuk mengenal prinsip-prinsip pembangunan rumah yang baik. Misalnya tentang cara pembuatan pondasi, pemasangan tulang-tulang besi, komposisi campuran semen dan pasir, teknis pengerjaan oleh tukang dsb.
Penerima bantuan ini adalah warga rumahnya mengalami rusak berat atau roboh. Daftar penerima manfaat ditetapkan oleh pemerintah desa. Sebelum pelaksanaan pembangunan fisik, para penerima manfaat berkumpul untuk mendapat penjelasan tentang proyek ini. Pada intinya, proyek ini adalah bertumpu kepada masayarakat sebagai pelaksana utama. Warga penerima manfaat akan mendapat bantuan bahan-bahan bangunan, namun mereka harus menyediakan tenaga tukang dan mengawasi pelaksanannya. Sementara itu, pelaksana proyek akan memberikan pendampingan secara teknis. Setiap rumah ditargetkan selesai dalam 2 minggu.
Kendala dan Rumor
Pengadaan material bangunan ternyata cukup sulit. Ini berbeda dengan kondisi di Jawa Tengah, yang dapat meminta bahan material kapan saja karena stoknya sudah ada. Di wilayah Ciamis ini, pasir yang berkualitas standar sangat sulit didapatkan. Kebanyakan yang tersedia adalah pasir yang bercampur lumpur. Lokasi penambangan pasir juga hanya ada satu. Untuk mendapatkan pasir yang berkualitas standar dan tidak bercampur lumpur, mereka harus mengeruk lapisan pasir yang lebih dalam. Itu saja jumlahnya sangat terbatas. Dalam sehari hanya bisa didapatkan dua rit pasir. Itu pun harus "rebutan" dengan pihak lain.
Kendala lainnya terletak pada pengenalan teknik yang baru. Dalam proyek ini Alfian memperkenalkan teknik perangkaian besi yang berbeda dengan teknik yang digunakan oleh tukang setempat. Ternyata untuk mengubah kebiasaan ini tidak mudah. Meski sudah diberi instruksi, namun tidak dikerjakan dengan benar. Namun hal ini tidak menjadi persoalan serius. "Justru di sini seni dan tantangannya," kata Alfian,"Saya lebih senang kalau ada orang yang menerima pengetahuan baru dengan susah karena nanti justru akan lebih bertahan lebih lama dibanding dengan orang yang menerimanya begitu saja."
Kendala yang paling berat adalah resistensi dari pemimpin agama setempat. Pada awal proyek, muncul kecurigaan dari pemuka agama bahwa proyek ini dapat "merusak akidah." Namun dengan pendekatan persuasif, akhirnya pemuka agama itu mulai melundak. Mereka bisa menerima keberadaan proyek ini dan berjanji mengirimkan beberapa pemuda untuk bergotongroyong membersihkan lokasi pembangunan.
DKP membagi pembangunan rumah dalam tiga tahap. Dalam setiap tahap dibangun 12 rumah. Tahap I dan Tahap II berlangsung sesuai dengan rencana. Namun di akhir tahap II, beredar rumor tak sedap yang memojokkan keberadaan proyek.
Ada isu yang merebak bahwa GKI sebagai pelaksana proyek ini telah membeli sebidang tanah di sekitar lokasi pembangunan rumah. Menurut isu tersebut, GKI akan mendirikan gedung gereja di atasnya. Untuk melaksanakan misi itu, maka GKI telah membaptis, 10 warga penerima manfaat. Daftar nama-nama orang tersebut ditulis di selembar kertas dengan latarbelakang gambar salib. Dikesankan seolah-olah daftar nama ini dikeluarkan oleh GKI. Namun pembuat selebaran ini membuat kesalahan mendasar karena dia menggunakan salib gereja Katolik (dengan patung Yesus).
Isu lain mengabarkan salah satu petugas pelaksana kami yang ada lapangan telah menikahi menikahi warga setempat dan membuat isterinya itu pindah agama. Bentuk rumah yang dibangun juga dipersoalkan. Menurut rumor, desain rumah bantuan sengaja dibuat mirip dengan gereja. Lalu, DKP juga diisukan mewajibkan penerima manfaat untuk memasang salib di rumah mereka. Tuduhan itu masih berlanjut. DKP dikabarkan mengklaim telah membangun gedung sekolah agama. Hal ini dibuktikan dengan foto gedung (yang hampir roboh), yang memang kami pasang di internet.
Isu ini rupanya ditanggapi dengan serius oleh pihak yang sejak semula memang telah mempersoalkan proyek ini. Di awal proyek mereka sudah bisa menerima penjelasan ini, namun dengan merebaknya isu itu menggerakkan mereka untuk mengambil tindakan. Untuk itu mereka mengundang pertemuan petugas pelaksana kami untuk mengadakan "dialog." Namun yang dimaksud "dialog"ini adalah mendengarkan pembacaan tuntutan dengan dikelilingi ratusan orang berwajah tidak ramah yang meneriakan nama Tuhan. Mereka menuntut agar kami menghentikan proyek, menutup sekretariat proyek dan meninggalkan desa malam itu juga. Di bawah tekanan psikis seperti itu, tidak ada jalan lain bagi petugas kami di lapangan untuk meneken surat tuntutan itu.
Situasi saat itu memang sangat emosional. Warga yang menerima bantuan tidak bisa menerima tuntutan dan bersiap untuk melakukan aksi pembalasan. Karena sangat mungkin pecah konflik horizontal, maka kami memutuskan untuk melakukan cooling down lebih dulu. Semua aktivitas di lapangan dihentikan sambil melakukan konsolidasi dan komunikasi.
Sehubungan dengan rumor ini, maka pak Tatang [nama samaran], pemuka masyarkat memberikan bantahan dan penjelasan di rumah ibadah desa, yang dihadiri para pemuka agama dan pejabat pemerintah. Pak Tatang membantah bahwa GKI telah membeli tanah di desa. "Proses membeli tanah itu tidak semudah itu," kata pak Tatang, "lagipula jika GKI ingin membangun gereja, tentu mereka tidak akan membangun di sini. Mereka akan mendirikan gereja yang ada orang kristennya."
Soal pembaptisan, pak Tatang menyatakan selebaran yang beredar itu tidak mungkin dibuat oleh GKI. Selain keliru dalam mencantumkan jenis salib, nama yang tercantum dalam selebaran itu salah. Dalam selebaran disebutkan salah satu orang yang dibaptis adalah pak Tatang, namun namanya ditulis dengan nama yang hanya diketahui oleh warga desa setempat. "Orang-orang di GKI tidak mungkin menuliskan nama ini karena mereka tidak pernah tahu nama saya yang ini," jelas pak Tatang. Kesimpulannya, selebaran itu palsu dan dibuat oleh orang yang tahu seluk-beluk lokasi pembangunan.
Soal pernikahan petugas lapangan dan isu pindah agama itu hanya isapan jempol. Untuk lebih meyakinkan, maka pak Tatang bersama dengan semua penerima manfaat bersumpah menggunakan kitab suci mereka. Tentang pemasangan salib, para penuduh dipersilahkan mengecek sendiri ke setiap rumah penerima bantuan. "Silakan tanya sendiri pada setiap warga apakah mereka diwajibkan memasang salib. Saya tidak pernah mengarahkan mereka untuk memberikan jawaban tertentu. Tanya saja mereka sendiri," kata pak Tatang dengan berapi-api.
Soal foto sekolah agama yang dipasang di internet, pak Tatang menjelaskan bahwa foto tersebut adalah hasil survey. "Yang namanya survei itu adalah mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Mereka memotret kerusakan-kerusakan akibat gempa. Kebetulan sekolah itu juga mengalami kerusakan. Jadi GKI tidak ada niat untuk mengklaim sekolah itu sebagai hasil pekerjaan mereka."
Soal desain rumah, pak Tatang menilai itu tidak mirip dengan gereja. "Tuduhan itu hanya asal-asalan dan dibuat oleh orang yang sakit hati," jawab pak Tatang. Setelah mendengar penjelasan dari pak Tatang, semua pihak menjadi paham duduk persoalannya. "Kalau begitu, maka proyek ini harus dilanjutkan," kata salah satu pemuka agama dari kabupaten, "bahkan kita harus datang pada acara penutupan nanti untuk mengucapkan terimakasih."
Setelah mendapat penjelasan langsung, akhirnya orang-orang yang keberatan dengan proyek itu [sekali lagi] bisa memahami dan mempersilahkan kami untuk melanjutkan tahap terakhir.
Dampak dan Refleksi
Meskipun proyek ini belum selesai, namun dampak dari kegiatan ini sudah mulai dirasakan. Bagi warga desa, proyek ini membangkitkan kesadaran baru tentang keberadaan umat Kristen. Kehadiran gereja atau umat Kristen dalam proyek ini telah membuka hubungan baru yang bernuansa persahabatan dan perdamaian, sehingga dapat mengikis kecurigaan dan kebencian. Masyarakat mulai terbuka terhadap kehadiran umat agama lain. Mereka juga mendapat pengetahuan baru di bidang teknis bangunan yang ramah terhadap gempa. Sedangkan bagi DKP, proyek ini memberikan pelajaran berharga dalam pengorganisasian masyarakat dan menata hubungan antar lembaga.
Keterlibatan dalam proyek ini membuatku dapat menghayati sabda Yesus:“Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala." Yang dimaksud "serigala" di sini bukan dalam bentuk kelompok agama lain, melainkan berupa sebuah situasi yang menciptakan ketakutan, teror, kecemasan, dan kekhawatiran:
1. Serigala Kemiskinan
Sebagian besar warga desa berada dalam derajat perekonomian pra-sejahtera, atau lebih lugasnya warga yang miskin. Tanah pertanian yang kering hanya dapat dimanfaatkan sekali dalam setahun. Setelah itu, mereka bekerja serabutan. Karena didesak oleh berbagai kebutuhan hidup, sebagian besar warga terjerat utang pada rentenir dengan bunga yang sangat tinggi. Beberapa warga pernah memiliki usaha pembuatan kasur, namun terhenti total sejak dilanda gempa.
2. Serigala Kebodohan
Karena miskin, maka warga tidak mendapatkan pendidikan yang memadai. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang terbatas, maka mereka juga kesulitan untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Ini adalah sebuah lingkaran setan: Kemiskinan melestarikan kebodohan, dan kebodohan menghambat warga lepas dari kemiskinan.
3. Serigala Ketergantungan
Karena dua situasi di atas, maka warga sangat tergantung pada pemuka agama dan tokoh masyarakat dalam pembentukan opini dan pengambilan keputusan. Mereka mendapatkan informasi dari para pemuka pendapat (opinion leader), yang telah terlebih dahulu menyaring informasi dari luar. Akibatnya, sikap dan perilaku warga mudah sekali disetir dan dikendalikan oleh pemuka masyarakat.
4. Serigala Prasangka
Selama bertahun-tahun telah terbentuk prasangka-prasangka antar agama, yang dibangun berdasarkan pandangan strereotype. Akibatnya, muncul kecurigaan, permusuhan dan cenderung menutup diri. Kehadiran kelompok agama liyan dianggap sebagai potensi ancaman.
5. Serigala Patriarkat
Akar dari semua relasi kuasa yang timpang ini adalah budaya patriarkat yang masih mengurat akar di dalam masyarakat
****
Untuk menghadapi "serigala" ini, maka Yesus memesankan supaya kita "cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” Dengan melibatkan diri dalam aksi kemanusiaan, maka kami berharap dapat menabur benih-benih perdamaian dan sikap inklusif. Dengan berinteraksi bersama-sama di dalam kerja-kerja kemanusiaan ini, maka serigala-serigala prasangka itu dapat diusir jauh-jauh. "Sekarang mata saya terbuka," kata pak Tatang, pemuka desa setempat, "ternyata saya memiliki saudara-saudara di tempat jauh."
Potensi Ekonomi Warga