Senin, 03 Oktober 2011

Posted by Purnawan Kristanto on/at 22.32



Salah satu pertanyaan eksistensial manusia yang mengalami bencana adalah apa relevansi agama di tengah bencana?
Jawabannya sederhana. Dibutuhkan agama yang membebaskan mereka dari penderitaan. Dibutuhkan agama yang fungsional, yang memancarkan kebesaran kasih Allah melalui praksis pembebasan dan cinta pada kemanusiaan. Sayang, justru di situ kelemahannya.
Agama sering gagal menghadirkan diri sebagai kekuatan transformatif. Alih-alih menolong dan membebaskan korban, agama sibuk dengan upaya spekulatif menjelaskan sebab musabab terjadinya bencana. Agama menjadi impoten.
Kegenitan agama dalam menjelaskan masalah bencana disebabkan dua aspek. Pertama, agama cenderung menganggap diri tahu segalanya. Semua yang terjadi di dunia seolah sudah ada jawabannya pada agama. Agama seperti ahli nujum.
Kedua, muncul dari upaya keras agama dalam mempertahankan doktrinnya tentang kemahakuasaan Tuhan. Bencana, tragedi, maupun penderitaan dijelaskan tanpa mengorbankan kemahakuasaan Tuhan.


Paradigma Voltaire
Ketika gempa dahsyat di Lisabon memusnahkan hampir sepertiga penduduknya, Voltaire marah besar. Dia menuding Allah sebagai pangkal bencana. Voltaire adalah pemegang kuat doktrin tradisional gereja, takdir bumi dan nasib manusia dalam genggaman Allah. Allah mengatur segalanya. Paradigma Voltaire hanya upaya manusia mencari jawab atas bencana dari kaca mata agama. Paradigma ini memiliki banyak kelemahan fundamental.
Salah satu kelemahan utama "paradigma Voltaire" adalah kemahakuasaan Allah. Allah yang mengatur segala sesuatu. Segala hal, kebaikan maupun bencana berasal dari Allah.
Alasan pertama yang sering didengar adalah bencana alam yang manusia alami adalah hukuman Allah atas dosa-dosa manusia. Para korban itu manusia berdosa. Penderitaan adalah hukuman atas dosa. Tudingan ini sempat menyeruak saat tsunami menghantam Aceh, juga saat bencana di Yogyakarta. Kelemahan terbesar dari sikap teologis ini adalah kecenderungannya menyalahkan korban (blaming the victim). Akibatnya, mereka cenderung menyalahkan diri sendiri. Allah digambarkan sebagai tukang hukum yang mengerikan.
Alasan kedua, melihat bencana dan penderitaan sebagai cara Allah mendidik umatNya. Jika yang pertama melihat bencana sebagai hukuman, yang kedua memandang hukuman sebagai pendidikan. Kelemahan pendekatan ini adalah ketika bencana membinasakan seluruh keluarga. Pertanyaannya, jika semua tewas, siapakah yang Allah didik melalui bencana itu? Tidak ada.
Alasan ketiga, Allah memiliki alasan yang tidak dapat dipahami manusia. Rasionalitas manusia terlalu kecil untuk memahami kemahakuasaan Allah. Manusia hanya bisa pasrah berhadapan dengan "kesewenangan" Allah.
Alasan keempat, Allah tidak pernah mengirimkan pencobaan yang lebih berat dari kekuatan seseorang. Kelemahan alasan ini, ada banyak orang yang gagal menanggung cobaan yang dialami. Alih-alih menjadi kian kuat imannya, mereka yang terkena bencana malah menjadi putus asa bahkan bunuh diri. Mereka yang sinis dengan pendekatan ini sering berkata, "mungkin Allah salah perhitungan dalam memberikan kadar cobaan-Nya."
Keempat alasan ini bermuara pada satu asumsi yang sama, yaitu bencana bukan urusan geologi atau ilmu pengetahuan lainnya, tetapi berasal dari Allah.

Solidaritas dalam kerapuhan
Harold Kushner dalam When Bad Things Happen to Good People menolak pendekatan itu. Kushner berpendapat, pendekatan itu memiliki kelemahan signifikan. Pendekatan itu gagal mengakui, manusia dan dunia memang rapuh. Dalam kerapuhan kolektif, kita bisa terkena bencana kapan saja, di mana saja.
Bencana itu sewenang-wenang. Ia menghampiri siapa saja tanpa peduli apakah seseorang taat atau jahat. Bencana tidak peduli apakah Anda petinggi yang doyan korupsi, anak-anak yang lucu, atau petani yang lugu. Singkatnya, kita semua rapuh.
Implikasi sosial-etis dari tesis Kushner adalah agama harus mengingatkan bahwa kita semua, manusia dan dunia, ini rapuh. Kita terancam oleh bahaya kolektif, baik berupa bencana alam maupun bencana yang dibuat manusia.
Tsunami yang menghantam rakyat Aceh maupun gempa yang memorakporandakan Yogya adalah bukti betapa rapuhnya kita. Pengakuan pada kerapuhan kolektif ini adalah jalan terbaik untuk membangun solidaritas sosial. Kita tidak menghadapi bencana itu sendiri. Kita bisa menghadapinya bersama dalam praksis yang berdasarkan solidaritas persaudaraan dan kemanusiaan kita.

Albertus Patty
Pengajar pada Sekolah Tinggi Teologia Jakarta

GKI SW Jateng GKI KlatenBlog WawanNulis Yuk