Senin, 27 Desember 2010

belajar dari Rumput Yang Bergoyang

12930352852097494773
Pertama kali aku sampai di wilayah yang diterjang awan panas Merapi, atmosfer mendadak berubah seperti menonton televisi era 1970-an. Hanya ada dua warna yang dominan yaitu hitam dan putih dengan berbagai gradasi. Kayu-kayu pohon menghitam karena hangus terbakar. Seluruh permukaan yang ada di atas tanah berwarna abu-abu karena tertutup abu vulkanik.
Akan tetapi seminggu kemudian, setelah hujan turun suasananya mulai berubah. Mulai terlihat warna hijau dari rumput, pisang dan talas yang mulai tertunas setelah dibelai air hujan. Ketiga pohon ini terbukti mampu cepat pulih dibandingkan dengan tumbuhan yang lain. Tumbuhan jenis ini cenderung dipandang sebelah mata. Bahkan kadangkala tidak dipandang sama sekali sehingga tanaman ini sering terinjak dan tergilas oleh makhluk hidup atau benda bergerak yang lebih besar.
Photobucket
Melihat ini kejadian ini tiba-tiba aku teringat kata-kata bijak tentang kekhawatiran. Rumput adalah tanaman yang berumur sangat pendek. Hari ini bertunas, esok berbunga, lusa mati. Begitu singkat hidup rumput. Meski begitu, Tuhan masih sempat mendandani tanaman dengan daun dan bunga yang menakjubkan.
Jika Tuhan memakai perhitungan ekonomis, mestinya tak perlu repot-repot mendesain rumput dengan keindahan. Toh hidupanya sangat singkat, bahkan teramat singkat jika lebih dulu disenggut sapi sebelum sempat berbunga. Akan tetapi Tuhan tetap memberi perhatian khusus kepada rumput. Jika Tuhan sedemikian mempedulikan rumput yang hari ini berbunga mekar dan besok layu, bukankah pasti Ia akan mempedulikan aku sebagai manusia? Bukankah aku ini lebih berharga daripada rumput, talas dan pisang?
Photobucket
Pelajaran kedua, rumput, talas dan pisang lebih cepat bertunas kembali setelah sama-sama tersapu awan panas. Sementara itu pohon yang berkayu keras seperti sengon, mahoni, kelapa dan nangka masih terlihat meranggas. Entah kapan mereka akan bersemi kembali, atau bahkan tidak akan bersemi kembali.
Di sini aku belajar bahwa pihak yang kecil dan lemah seringkali justru lebih cepat mengalami pemulihan daripada pihak yang besar dan kuat. Kebangkitan ekonomi Indonesia setelah terpuruk pada akhir dekade 1990-an justru dipelolpori oleh pengusaha-pengusaha kecil dan menengah ke bawah. Perahu yang kecil lebih lincah melakukan manuver dibandingkan dengan kapal besar.
Meskipun kadang merasa tak berdaya dan tidak menjadi apa-apa di dunia ini, ternyata tidak semua memandangku sebelah mata. Penciptaku selalu memberikan perhatian istimewa. Kalau aku terpuruk, aku tahu bisa cepat pulih karena Dia memberikan kekuatan untuk menopangku.
12930345251081890327
__________________All About Writings

Sabtu, 18 Desember 2010

Bursa Pameran Pelayanan

Pada tanggal 15 Desember, Satgas Tanggap Bencana GKI SW Jateng diundang oleh Yakkum untuk mengisi stan dalam Pameran dan Bursa Pelayanan, kepada Penyintas Wasior – Mentawai – Merapi , di ballroom hotel Paragon Solo. Tujuan dari acara ini adalah untuk mengucap syukur karena masa tanggap darurat bencana telah selesai, para petugas kemanusiaan telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik; memberi penghargaan kepada pimpinan penyintas dan relawan yang menunjukkan dedikasi dan solidaritas luar biasa dalam tugas kemanusiaan yang dilakukan YAKKUM bersama para Penyintas; komitmen semua orang yang tidak terkena bencana untuk membantu kesulitan penyintas dan membantu proses re-habilitasi dan rekonstruksi penyintas. Satgas GKI mendapat stan berdampingan dengan stan GKJ, yang kemudian diputuskan untuk digabung menjadi satu karena selama masa tanggap darurat memang sudah bekerja sama dengan erat.
Lawak Punakawan
Lawak Punakawan
Acara  dikemas dalam bentuk Pameran Kegiatan Kebencanaan Unit YAKKUM dan Para Mitra YAKKUM serta Bursa Pelayanan Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Dalam pameran ini dibuka 20 stand kecil untuk memaparkan foto kegiatan dari lembaga-lembaga Kristen yang melakukan respons pada bencana di tiga rempat tersebut.  Selain Pameran dan Bursa, juga digelar acara Talk Show: Refleksi, Kesaksian, dan Pengembangan Komitmen Pelayanan dengan pemandu Nico Siahaan. Satgas GKI, dengan mengandeng GKJ, mendapat kesempatan untuk menampilkan Badut Sulap dan lawak Punakawan sebagai pembuka acara.  Lawak punakwan dibawakan oleh pdt. Krisapndaru (GKJ Pedan), Pdt. Sutomo (GKJ Gondangwinangun), Bowo dan Garu. Mereka menyelipkan kritik dan sentilan seputar pelayanan kebencanaan. Puncak dari acara tesebut adalah kesaksian yang diberikan oleh Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Bp. Surono atau lebih akrab sering dipanggil "Mbah Rono."
Sepedamotor terbakar
Mbah Rono bersaksi
Untuk mengisi stan pameran, Satgas GKI langsung mendatangkan sepeda motor yang terbakar akibat awan panas, menghamparkan pasir vulkanik dan memboyong kayu-katu yang terbakar. Selain itu, juga menampilkan foto-foto keguatan selama tanggap darurat.  Pameran dibuka mulai pukul 13, dengan dihadiri lebih dari 500 orang dari berbagai lembaga pelayanan. Acara diakhiri pada sekitar 10 malam dengan tarian yang dilakukan oleh pemuda dari Papua yang kemudian mengajak seluruh panitia, relawan dan pengunjung yang tersisa untuk menari bersama-sama. Akhir acara yang indah, menggambarkan ucapan syukur karena telah menyelesaikan masa tanggap darurat.
Bersukacita

Suplai Air Bersih untuk Penyintas Merapi

Warga desa Bawukan dan Gemampir sudah pulang dari tempat pengungsian yang kami kelola. Saat mereka sampai ke rumah masing-masing, mereka mendapati bahwa tandon air mereka telah tercemari abu vulkanik. Saat mengungsi, mereka lupa menutup atau memindahkan talang air. Akibatnya, abu vulkanik masuk ke dalam persediaan air mereka. Air yang sudah tercemar ini tidak bisa dikonsumsi atau dipakai untuk mandi karena membuat gatal-gatal.
Bersama dengan pdt. Sugeng Prasetya, pdt. Ndaru dan 3 relawan lainnya, kami bergerak naik ke lereng Merapi, sambil membawa pasokan air minum dalam kemasan. Tujuan pertama adalah gereja pepanthan Teglasari, GKJ Manisrenggo. Di sana sudah menunggu puluhan relawan dari pemuda GKJ Klaseman. Mereka ingin membantu warga dusun Bawukan yang baru saja pulang dari tempat pengungsian untuk membersihkan rumah masing-masing,
Photobucket
Setelah menurunkan air minum, kami meneruskan perjalanan ke desa Gemampir. Tujuannya adalah untuk monitoring pengurasan air di tanodn-tandon milik warga.
Sebagai informasi, desa ini selalu kekurangan sumber air bersih terutama pada musim kemarau. Untuk itu, mereka membuah kolam dari semen yang mengumpulkan  curahan air hujan  dari atap.
Mulai Selasa, 16 Nopember, tim tanggap bencana di GKI dan GKJ Klaten mengerahkan mesin penyedot air untuk menguras air kotor tersebut. Selanjutnya, kami juga memasok 2 tangki air bersih (10 ribu liter) kepada setiap pemilik tandon air. Untuk desa Gemampir, dibutuhkan 464 tangki air, dengan biaya Rp. 50 ribu/tangki. Total dibutuhkan dana Rp. 23.200.000,- Angka ini baru untuk satu lokasi. Masih ada satu lokasi lagi yang akan menjadi sasaran pembersihan, yaitu desa Bawukan
Photobucket
Pompa air
Photobucket
Kuras air
Photobucket
Saat ini kami sudah mendapat dana dari gereja Kalam Kudus Solo untuk membeli empat pompa air. Yang dibutuhkan adalah uang untuk membeli air bersih. Kini saat yang tepat untuk menunjukkan bahwa gereja tidak latah dengan pihak lain dalam tanggap bencana ini.
Di dalam tanggap bencana ini, ada dua tipe filantropis: Filantropis Laron dan Filantropis Semut.  Filantropis Laron adalah orang-orang yang tergerak untuk membantu sesamanya setelah ada liputan media. Mereka seperti laron yang selelu berkerumun di sekitar lampu. Jika lampu itu mati, maka laron akan menjauh pergi.
Sedangkan Filantropis Semut adalah orang-orang yang setia mendampingi penyintas meskipun  gegap gempita euforia penderma memudar dan liputan media menyurut.
Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk di antara kedua tipe tersebut. Untuk penanganan yang darurat dan massif, memang dibutuhkan filantropis laron yang bergerak secara spontan dan cepat.  Namun, setelah itu, dibutuhkan filantropis semut untuk membersihkan sisa-sisa pekerjaan yang ditinggalkan oleh laron-laron.
Photobucket
Saat bersiap pulang, roda mobil yang kami pakai ternyata bocor. Ada skrup yang tertancap di roda tersebut. Pendeta Bdaru yang selama tanggap darurat ini meminjamkan mobilnya sekaligus menjadi sopir, dengan cekatan mengganti roda yang bocor. Sejak awal, pendeta GKJ Pedan ini sudah terlibat dalam pos kemanusiaan di Klaten. meski rumahnya berjarak lebih dari 20 km dari kota Klaten, tapi pagi-pagi setelah mengantar anak, dia sudah nongkrong di posko. Akibatnya muncul guyonan, selama tanggap darurat, pekerjaan pendeta Ndaru adalah sopir relawan. Aedangkan pekerjaan sampingannya adalahs ebagai pendeta.
Photobucket

Senin, 06 Desember 2010

Wisata Bencana

Pemandangan wilayah yang tersapu awan panas Merapi membuat bulu kuduk merinding. Menginjak wilayah ini seolah-olah melihat televisi era 1970-an. Warna yang dominan adalah hitam-putih. Seperti melihat foto dengan format grayscale.
Sebelum ke wilayah ini, kami lebih dulu mendampingi guru dan karyawan SMP Kristen dan jemaat GKI beranjangsana ke dusun Remeng, desa Tlogowatu. Dengan mengendarai 6 mobil, kami berkonvoi ke desa di sebelah tenggara Merapi, berjarak sekitar 8 km dari puncaknya. Setelah menurunkan bantuan dan mencomot ubi goreng, kami berlima sengaja meninggalkan rombongan yang sedang menjalani ritus ramah-tamah.
Sasaran kami adalah puncak Deles, sebuah tempat wisata di Klaten yang mirip dengan Kaliurang. Suasananya masih sepi. Belum banyak warga yang kembali ke rumah masing-masing, namun barikade polisi sudah disingkirkan. Sesampai di tepian kali Woro, terlihat pohon-pohon yang hangus terbakar di sepanjang aliran sungai. Dengan perasaan miris kami mendekati jurang tepian kali Woro. Tiba-tiba seekor monyet melintas sambil menyeringai, menunjukkan taringnya. Ah, masih ada monyet! Ini pertanda baik bahwa wilayah ini akan segera pulih. Hewan-hewan liar ini mampu menyelamatkan diri dari sergapan awan panas.
Salah satu relawan bergegas ke mobil untuk mengambil biskuit. Dia buru-buru melemparkan isi biskuit ke monyet. Mula-mula monyet itu tampak ragu-ragu. Namun rasa lapar telah mengalahkan kecurigaannya. Dia mencomot sepotong biskuit dan melahapnya. Monyet lain datang. Dia ikut mengambil biskuit. Lalu datang monyet lagi, dan lagi, dan semakin banyak monyet yang berdatangan. Ada lebih dari 20 monyet yang menikmati makan siang gratis.
Photobucket
Karena guyuran hujan dan udaranya yang dingin, beberapa relawan harus menandai wilayah Deles, ala anjing. Setelah itu merayap lagi ke arah Kedungpring, puncak tertinggi di Deles. Pemandangan kiri dan kanan seperti padang tundra. Pohon-pohon berawarna hitam karena hangus terbakar. Pohon kelapa tumbang. Akarnya menyembul keluar. Mungkin karena tidak kuat menahan beratnya pasir yang teronggok di pelepah daunnya. Uniknya, rumput-rumput justru mulai menghijau bersemi.
Mobil kami sesekali terpaksa berhenti karena harus menyingkirkan pohon-pohon yang melintang di jalan. Sesaat sebelum mencapai puncak, mobil tidak bisa maju sama sekali karena pohon besar melintang di jalan. Sementara itu, pengendara sepeda motor berboncengan yang ada di depan kami juga berbalik turun.
“Ada apa mas?” tanya kami penasaran.
“Di atas petir sambar-menyambar,” jelas mereka. “Kami putuskan turun saja.”


Kami tidak mau ambil risiko. Kami putuskan untuk turun saja. Masalahnya, tidak ada tempat untuk memutar mobil. Maka mobil hanya bisa berjalan mundur selama sekitar 600 meter. Kami beristirahat di Pesanggrahan PB X untuk makan siang. Bangunanya masih penuh dengan debu Merapi. Mungkin kami adalah orang pertama yang masuk ke tempat ini setelah erupsi.
Dengan perut kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke arah Kemalang. Saat melintas di desa Dompol terlihat penjual duren. Daerah ini memang penghasil buah duren. Namun karena curah hujan yang tinggi, tidak banyak pohon duren yang berbuah pada musim ini. Meski perut sudah kenyang, namun masih ada ruang kosong bagi buah berbau menyengat. Tawar-menawar dengan simbah, disepakati 3 butir duren untuk 50 ribu rupiah.
PhotobucketSayangnya, begitu disantap, rasanya anyep. Tawar. Hampir tidak ada rasanya sama sekali. Pembeli kecewa. Rupanya ini taktik dagang simbah penjual duren. Dia lalu menawarkan duren yang lebih manis. Namun duren ini tidak utuh lagi karena ada bekas gigitan tupai. Tapi justru itu menandakan bahwa duren itu sudah tua dan berasa manis. Apa boleh buat. Kami merogoh lembaran 20 ribu untuk mengobati kekecewaan.
Sambil bersendawa duren, kami melaju ke desa Pijenan. Untuk menghemat waktu kami ambil jalan pintas. Kami sempat tersesat di jalan desa yang di jalan berlumpur. Agus Permadi memutuskan untuk menelepon pegawainya yang rumahnya di dekat kami tersesat. Pegawainya datang untuk menunjukkan “jalan yang benar.” Kami menyeberang kali Woro melewati dam yang meghubungkan desa Talun dan Kendalsari. Pada Tanggal 1 Desember, di desa ini terjadi banjir lahar dingin. Material padat yang terbawa aliran air itu sudah mengisi dam sampai penuh. Saat melintas di atas dam, kami terkejut melihat hamparan pasir di atas sungai itu sudah dipasangi patok oleh para penambang pasir. Meskipun sewaktu-waktu bisa ada hempasan lahar dingin, namun mereka tidak mau berlama-lama sebab bisa didahului pihak lain. Truk-truk pengangkut pasir pun sudah bersiaga di tepian sungai.
Sekali salah jalan.Masuk ke pertambangan pasir dengan alat berat. Dikeruk habis-habisan. Tebing-tebing tinggi dan lobang yang sangat dalam.
Saat melintasi desa Talun, kami menjumpai banyak lobang-lobang di dalam tanah bekas penambangan pasir. Alam di sini sudah rusak karena pertambangan menggunakan alat berat semacam backhoe atau warga setempat menyebutnya “begu.” Lanskap di sini sudah mirip dengan Freeport mini.
Kami berbelok ke kanan menuju hulu sungai Woro. Dari atas tebing ini, terlihat gubuk dengan atap dari terpal di dasar sungai. Bangunan itu adalah tempat perteduhan para penambang. Kalau sudah menyangkut urusan perut kadangkala potensi bahaya pun ditepis.
Photobucket
Setelah itu kami melambung ke arah barat menuju menuju Balerante, desa tertinggi di wilayah kabupaten Klaten. Pemandangannya sangat mengenaskan. Desa ini sudah luluh lantak. Zero Ground. Rumah-rumah hangus terbakar. Ternak peliharaan mati karena tidak sempat diselamatkan. Ketika mati juga tidak sempat dikuburkan. Jalan satu-satunya adalah membakar bangkainya yang meninggalkan bau yang menyengat. Lalat-lalat berterbangan di wilayah desa ini. Entah bangkai apalagi yang mereka buru.
Photobucket
Desa ini telah menjadi desa mati. Hanya ada sekelompok pria yang menjaga desa ini. Selebihnya, ada 144 KK yang mengungsi di desa Kepurun. Mereka tidak mungkin pulang dalam waktu dekat karena rumah mereka sudah tidak bisa dihuni. Listrik belum menyala dan pasokan air bersih juga terhenti karena mata air tertutup lahar Merapi.
Photobucket
Matahari sudah bersembunyi di Barat, sementara hujan tak juga jeda. Kami harus pulang supaya tidak kemalaman. Kami mampir sejenak di desa Srunen. Jenazah mbah Maridjan dimakamkan di desa ini, namun kuburannya tidak diketahui karena sudah tertimbun pasir Merapi. Sekali lagi hidung kami harus bersahabat dengan bau bangkai yang menyengat. Lalat juga berdengung-dengung. Bahkan sebagian masuk ke dalam mobil.
Photobucket
Dalam perjalanan turun, kami mampir sejenak di kali Gendol. Tiga hari sebelumnya, kami sudah pernah ke sini. Di tepi aliran sungai ini, ada perkampungan yang terkubur dalam pasir. Sejauh mata memandang, hanya terlihat pemandangan yang abu-abu, hitam dan putih. Rupanya sudah terjadi perubahan. Tiga hari yang lalu, bagian tengah sungai masih tertutup pasir. Namun karena hujan, pasir itu sudah hanyut sehingga bagian tengah sungai mulai terlihat kedalamannya.
Photobucket
Rupanya telah terjadi banjir besar di sungai itu. Hal itu terlihat dari batang-batang pohon besar yang terhanyut dan memotong jalan aspal menuju Kepurun. Mobil kami tidak mungkin menerobos halangan itu. Kami terpaksa mengambil jalan kecil melewati perkampungan. Kami harus bergegas karena hari sudah hampir gelap. Namun karena tergesa-gesa, kami nyaris menabrak bentangan kabel listrik yang jatuh ke tanah. Untung rem mobil masih pakem. Sejenak kami ragu-ragu untuk menyingkirkan kabel itu karena takut masih ada aliran listriknya. Kami juga tidak berani menggunakan ranting kayu untuk menggeser bentangan kabel itu karena basah oleh hujan. Karena tidak bisa menunggu waktu lagi, akhirnya Bowo memberanikan diri untuk menguji kabel itu dengan seutas ranting. Untunglah kabel itu tidak bersetrum. Maka dia segera mengambil potongan bambu untuk menaikkan kabel itu sehingga kami mobil bisa menerobos di bawahnya.
Photobucket
Dengan badan yang capek dan perut keroncongan, kami mampir di warung nasi goreng B2 di Pandansimping, Klaten. Lumayan!

B2

Klaten, 6 Desember 2010

Sabtu, 20 November 2010

Melanggar Batas Aman

Photobucket
Seharusnya saya tidak menuliskan pengalaman ini karena melanggar telah larangan pemerintah. Mengingat bahaya erupsi Merapi, pemerintah telah menetapkan radius wilayah bahaya. Angkanya bisa berbeda-beda untuk berbagai tempat. Kamis malam, 18 Nopember, kami mendapat kabar bahwa ada sebagian warga yang terpaksa bertahan di wilayah berbahaya di kecamatan Muntilan. Ceritanya begini: Sebenarnya mereka sudah mengungsi di sebuah sekolah di kota Muntilan. namun karena tempat pengungsian ini mengganggu proses belajar-mengajar, maka tempat pengungsian ini akan dipindah ke kota Magelang, yang jaraknya lebih dari 20 km.
Sebagian warga dalam pengungsian keberatan dengan keputusan ini. Bagi mereka, jarak tempat pengungsian yang baru itu terlalu jauh dengan rumah mereka. Sesungguhnya, tidak semua pengungsi tinggal terus-menerus di tempat pengungsiian. Pada siang hari, para pengungsi yang masih sehat dan kuat kembali ke desa mereka untuk mengurusi ladang, merawat ternak, menggali pasir dan berbagai pekerjan sehari--hari. Mereka menggunakan sepedamotor sebagai alat transportasi. Selama tanggap daruat, mereka tidak pernah mencabut kunci kontak dan memparkir sepedamotor ke arah jalan. Jadi jika sewaktu-waktu terjadi erupsi, mereka segera bisa melaju menghindari bahaya.
Karena keputusan pemindahan ini sudah tidak bisa ditawar lagi, maka warga yang masih sehat, terutama kaum laki-laki, memutuskan kembali ke desa asal. Sedangkan kaum perempuan, anak-anak dan manula bersedia pindah ke Magelang. Sebelum pulang ke desa, para warga desa harus menandatangani surat pernyataan yang diajukan oleh pemerintah. Intinya, warga tidak akan menuntut pemerintah jika terjadi apa-apa akibat dari keputusan mereka pulang ke desa. Konsekuensi lain dari pilihan ini adalah terputusnya aliran bantuan. Pemerintah tidak memberikan bantuan kepada warga yang berada di bawah radius bahaya.
Kami mendengar kabar bahwa warga dusun Mberut, desa Dukun, kecamatan Muntilan kekurangan logistik karena termasuk dalam radius di bawah 10 km. Mereka berada dalam radius 8-9 km dari puncak Merapi. Salah seorang warga, bernama Siska, menginformasikan bahwa kondisinya memprihatinkan. Maka kami memutuskan untuk mengirimkan satu truk bantuan yang berisi. Saya berangkat bersama Agus  Permadi dan koh Yoyolk. Barang yang kami bawa adalah:
Photobucket
1.Bahan makanan sebanyak 124 paket, yang terdiri dari:
* 5 kg beras
* Minyak goreng 1 liter
* Mie instan 1 karton
* Abon 1 ons
* Gula 1 kg
* Bawang merah+Putih 2,5 ons
* Kecap 620 ml
2. Alat kebersihan sebanyak 50 set yang terdiri dari:
*Sapu lidi
* Sapu ijuk
* Serok Sampah
3. Hygiene Kit sebanyak 120 buah (sabun, sampo, sikat gigi, pasta gigi)
4. Selimut 50 lembar
5. Masker
6. Baju
Kami janjian dengan Siska untuk bertemu di Kelenteng, Muntilan. Kami belum pernah bertemu dengan Siska sebelumnya. Selama ini, kami hanya berkomunikasi melalui telepon. Siska adalah warga dusun Mberut, namun bersekolah dan ngekos di Magelang. Khusus untuk mengantarkan kami, Siska bersepedamotor dari Magelang, kemudian memandu kami merayapi punggung Merapi. Sepanjang perjalanan, kami menyaksikan abu berwarna abu-abu melapisi hampir semua benda yang berada di tempat terbuka.  Ranting dan cabang pohon terkulai tak berdaya menahan beban abu. Pelepah kelapa menunduk sendu.
Sepanjang jalan, kami mengagumi keberanian siswa kelas 3 SMU ini. Meski belum pernah bertemu, dan baru menjalin kontak sekitar 24 jam, namun Siska berani mengantarkan "3 penyamun" melewati jalan-jalan yang sepi. Mungkin rasa kemanusiaan telah menguatkan dirinya untuk mengatasi ketakutannya.  Belum lagi wilayah yang kami tuju itu masuk dalam Ring I atau KRB III.
Senja menuju rembang saat kami sampai di tujuan akhir. Berlomba dengan matahari, kami segera menurunkan muatan karena listrik belum menyala. Warga desa berdatangan untuk membantu membongkar bantuan. Agus Permadi, teman saya, hamparan buah salak berbalur abu milik tuan rumah.
"Berapa harga salaknya bu?" tanyanya.
"Harganya jatuh pak. Cuma Rp.2.500,-/kg," jawab pemilik salak. Padahal di kota, salak pondok dibanderol Rp. 8.000,-/kg
"Saya beli 10 kg, ya!" pinta Agus Permadi.
Dengan cekatan sang tuan rumah menimbang buah salak dan memasukkan ke dalam karung plastik. Akan tetapi ketika akan dibayar, tuan rumah menolak pembayaran. "Saya tidak menjual. Saya memberi buah salak ini pada bapak," kata pemilik salak.
Photobucket
Agus Permadi segera mengupas dan makan salak. Olala, ternyata dia kelaparan. Daging salak itu belum membuatnya kenyang. Karena kasihan, maka koh Yoyok lalu meminta tolong Siska untuk membuatkan mie instan. Siska segera pergi ke rumahnya yang kosong. Bapak dan ibunya sudah mengungsi ke Yogya. Dalam kegelapan karena listrik belum menyala, Siska menyiapkan mie instan. Begitu siap, langsung kami santap bertiga.
Selepas maghrib, kami menuruni lereng Merapi menuju kota Muntilan. Siska tetap setia memandu kami dengan sepedamotirnya sampai di dekat RSUD Muntilan, lalu pisah jalan. Kami mampir sejenak ke GKI Boyolali, lalu melaju pulang. Sesampai di Sleman, kami mampir ke rumah makan dengan menu khsus dari bahan jamur. Kami memesan sate jamur, asam manis jamur, pepes jamur, dan telurdadar jamur. Rasanya memang sangat mirip dengan aslinya.
"Wah, teksturnya persis dengan usus," komentar Agus Permadi sambil mengunyah sate.
Dalam pepatah Jawa, ada idiom,"ono rego, ono rupo." Masakan di sini memang istimewa, tapi harganya juga istimewa. Kami kaget membaca sederetan angka yang tertera dalam tagihan.
Esoknya, saat mengobrol di posko, Agus Permadi mengaku gatal-gatal setelah makan masakan jamur semalam.
"Ah itu reaksi tubuhmu saja karena syok melihat tagihan yang harus dibayar," ujar pak Ndaru yang merasa kecewa karena tidak bisa ikut ke Muntilan.
******
Saksikan video perjalanan di sini dan masakan jamur di sini.

Photobucket
jamur

Photobucket

Rabu, 03 November 2010

Catatan Relawan 1 Nopember

Photobucket
Senin pagi, aku menyempatkan diri ke Yogyakarta. Tepatnya ke kantor Lembaga Konsumen Yogyakarta untuk mengikuti audio cenference. Ceritanya, aku memenangkan kompetisi menulis ide klip pendek yang diselenggarakan oleh www.beosope.com dan mendapat hadiah kamera video Flip. Sebenarnya, aku harus mengambil sendiri hadiah ke Jakarta, Jumat (29 Oktober), namun aku memutuskan untuk tidak berangkat karena harus melakukan respons bencana merapi. Rupanya pihak beoscope bisa mengerti situasinya. Para pemenang tidak perlu ke Jakarta namun mendengarkan penjelasan tentang kelanjutan lomba melalui telepon. Dari Yogya, ada empat orang yang dinyatakan sebagai pemenang. Aku salah satu di antaranya.
Saat baru saja turun dari sepeda motor, tiba-tiba Kirana, anakku menelepon lagi. “Pa, merapi erupsi. Merapi erupsi!” Tak berapa lama kemudian, panggilan telepon datang bertubi-tubi. Kami harus segera merespon erupsi ini karena ada ribuan warga yang akan mengungsi. Kami memperkirakan malamnya pasti akan banyak pengungsi yang harus diberi makan. Aku segera berkoordinasi dengan pdt. Simon Julianto yang ada di Boyolali. Mereka sedang melayani lebih dari 2 ribu
pengungsi di Jrakah, Klakah dan Lencoh. Pendeta Simon dan kawan-kawan dari Lembaga Bakti Kemanusiaan Umat Beriman memutuskan untuk membuka dapur umum. Kami akan menyokong bahan makanan untuk memasak. Aku segera meminta beberapa relawan di Klaten untuk berbelanja bahan makanan. Kebetulan, kami baru saja mendapat kiriman 200 karton mie instan dari Obor Berkat Indonesia melalui pendeta Sugeng Prasetyo.
Setelah audio conference selesai, aku segera memacu sepeda motor ke Klaten. Sambil menunggu teman-teman memuat barang bantuan, aku menyempatkan untuk makan malam. Sekitar pukul 13. Kami sudah meluncur ke Boyolali untuk menurunkan bantuan di pos LBK-UB.
Photobucket
***
Sampai di Klaten menjelang rembang petang. Masih ada kesempatan untuk mengejar tim seni dari gereja Kristen Jawa (GKJ) Pedan yang sudah berada di barak Keputran, Kemalang, Klaten. Mereka akan menghibur pengungsi dengan badut sulap. Kami pulang ke rumah masing-masing untuk bersih-bersih badan, lalu bergegas ke lereng Merapi lagi. Dalam perjalanan, kami mendapat kabar bahwa di barak Keputran sudah ada pertunjukan organ tunggal. Maka rombongan pak Ndaru memutuskan untuk berpindah ke barak pengungsi di Dompol. Kami pun menyusul ke sana. Sesampai di lokasi, pak Ndaru dan kawan-kawan sudah mulai beraksi. Meski hanya diterangi oleh lampu mobil dan menggunakan wireless mic, namun tak mengurangi antusiasme pengungsi untuk menyaksikan huburan badut. Yang menjadi badut adalah pak Ndaru sendiri. Tidak hanya anak-anak yang menyaksikan hiburan ini. Para dewasa juga ikut membentuk lingkaran mengelilingi sang badut.
Acara semakin semarak karena kami sudah menyediakan 200 bingkisan untuk dibagikan kepada anak-anak pengungsi. Pukul 18:30, hiburan selesai. Kami melanjutkan perjalanan ke barak pengungsi di Bawukan. Menurut rancana kami akan mengadakan pertunjukan lawak Punakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong). Sesampai di sana, para pengungsi terlihat sedang asyik menyaksikan tayangan musik dangdut yang disorotkan ke dinding menggunakan proyektor. Melihat itu, kami memutusan untuk tidak menginterupsi keasyikan mereka dan menunda pertunjukan lawak pada hari Rabu. Supaya tidak bertabrakan dengan acara hiburan lain, kami mendaftar lebih dulu ke pengelola posko.
***
Meski sedikit kecewa, kami turun gunung untuk pulang dan beristirahat. Kami harus memulihkan tenaga untuk karya kemanusiaan ini.




Photobucket


__________________All About Writings

Minggu, 31 Oktober 2010

Catatan Relawan 31 Oktober

Untuk pertama kalinya, kami mendapat guyuran hujan abu dan menyaksikan evakuasi pengungsi. Saat itu kami baru saja menyuplai kebutuhan pengungsi di di Boyolali.
***
Minggu pagi, bpk Hendro dari Gugus Tugas Penanggulangangan Bencana GKI Pondok Indah menginformasikan sudah masuk ke wilayah Klaten. Bersama dengan bpk. Tukiyo dan bpk. Egi, bpk Hendro sudah melakukan perjalanan semalaman dari Jakarta. Pukul 8:30, mereka sudah sampai di Gki Klaten. Saya memberikan informasi tentang situasi pengungsi kepada mereka. Tak lama kemudian pak Bambang  Pudyanto bergabung, lalu sarapan nasi bebek di warung ibu Suwarni, Gondang. Tujuan pertama adalah barak pengungsi di Dompol, Kemalang, Klaten. Saat melintasi pos pengungsi di Keputran, suasananya seperti pasar malam di siang hari. Spanduk dan umbul-umbul dari berbagai instansi, partai, lembaga dan perusahaan  dipancangkan di berbagai tempat.  Berlomba-lomba mencari paparan mata paling strategis. Wakil Presiden baru saja berkunjung ke tempat ini. Tentu saja tempat ini menjadi strategis. Ironisnya, jumlah pengungsi terlihat sedikit. Ada dua kemungkinan: pengungsi kembali lagi ke rumah mereka pada siang hari untuk mengurus ternak atau memang belum ada pengungsi karena wilayahnya jauh dari ring 1.
Kami terus naik ke barak pengungsi di Dompol. Situasinya sudah lebih baik daripada situasi tiga hari sebelumnya ketika kami di sini. Jumlah bantuan sudah menumpuk, lima kali lipat lebih banyak. Pengelola posko mengakui untuk kebutuhan logistik sudah mencukupi.
Kami meneruskan perjalanan ke Jrakah, Boyolali. Di sana, ternyata pendeta Janoe dan relawab dari GKI Sangkrah sudah sampai lebih dulu. Memakai mobil Elf yang disopiri sendiri oleh pdt. Janoe, GKI Sangkrah menyuplai kebutuhan dapur umum dan perlengkapan pribadi.
Pos Jrakah ini pos kemanusiaan mandiri, yang dikelola oleh Lembaga Bantuan Keamanusiaan Umat Beragama. Sebuah lembaga kerjasama antar iman di Boyolali. Dalam merespon bencana Merapi, pemerintah kabupaten Boyolali ternyata paling keteteran di banding pemerintah kabupaten lain di sekitar Merapi. Masih ada banyak titik yang tidak terjangkau.
Dari bincang-bincang dengan relawan di posko ini, diperoleh informasi sebagai berikut:
Selama 2 tahun ini, LBK-UB telah mendampingi masyarakat untuk program Pengurangan Risiko Bencana. Mereka telah merintis Sistem Peringatan Dini dan terbukti berhasil pada bencana Merapi. Melihat peran pemerintah kabupaten yang minim, maka LBK-UB kemudian bergerak ke wilayah tanggap bencana. Mereka melayani wilayah Jrakah, Klakah dan Lencoh. Agak susah untuk menghitung jumlah pasti pengungsi karena para pengungsi ini tidak tinggal di barak pengungsi dalam waktu yang lama. Pada siang hari mereka kembali ke rumah masing-masing. Setelah malam hari mereka kembali ke barak pengungsian. Jika situasi mereka nilai aman, maka mereka akan segera pulang. Jika situasi berbahaya lagi, mereka bergegas ke barak terdekat. Jadi bisa saja hari pertama mereka mengungsi ke barak A, namun pada hark kedua mereka pergi ke barak B. Situasi ini menyulitkan relawan karena tidak dapat menghutung kebutuhan pengungsi secara akurat. Namun secara kasar, setiap barak biasanya berisi 800-1600 pengungsi. Namun jumlahnya akan bertambah pada malam hari.
Makan siang
Kebutuhan di wilayah ini adalah:
  1. Sarana prasarana dapur umum (Alat masak, kompor, LPG, dll).
  2. Tenda besar
  3. Makanan Siap aji (abon, dendeng, sarden, tempe kering, sambel kering, srundeng), roti
  4. Makanan dan susu (bukan susu formula) untuk anak-anak
  5. Selimut
  6. Tikar
  7. Masker
  8. Obat-obatan.
Selain itu memenuhi kebutuhan dasar pengungsi, posko ini juga melakukan perondaan untuk menjaga aset-aset penduduk. Boyolali adalah pemasok kebutuhan daging dan susu sapi untuk berbagai kota. Warga tidak mungkin membawa serta sapi untuk mengungsi. Itu sebabnya,  tim ini juga menerjunkan relawan, selain menjaga, juga memberi makan ternak.  Istilah lokal adalah "ngarit"
Untuk itu, relawan sendiri juga membutuhkan dukungan berupa:
  1. Senter
  2. Pulsa
  3. Kopi, gula, teh, camilan untuk peronda
  4. BBM
  5. Handy Talkie
  6. Konsumsi
Untuk keperluan Pengurangan Risiko Bencana, masyarakat di desa Tlogolele membutuhkan tower/menara untuk sirene dan pengeras suara.
Bantuan
Sekitar pukul 2 siang, bantuan dari GKI Gereformeed Semarang datang. Dengan dipimpin pdt. Rahmat, mereka membawa bantuan satu mobil box.  Saat sedang menurunkan bantuan, tiba-tiba suara handy-talkie milik posko berubah nada. Alat komunikasi ini sengaja digunakan untuk memantau seismograf yang ada di puncak merapi. Dalam situasi normal, HT ini mengeluarkan suara monoton seperti suara uap milik penjual kue puthu. Ketika terjadi aktivitas vulkanik, maka nada suaranya akan berubah seperti suara gemuruh. Kontan relawan yang ada di posko segera keluar rumah dan memandang ke arah puncak merapi. Saat itu sedang turun gerimis dan diliputi oleh mendung tebal. Karena tidak bisa memantau secara visual, para relawan mencari kabar ke posko lain. Mereka mendapatkan kepastian bahwa terjadi erupsi lagi. Tak berapa lama terdengar suara sirene meraung-raung. Rupanya berasal dari truk polisi yang bergegas menuju wilayah pemukiman penduduk. Sementara dari arah lain, beberapa mobil pick up yang sarat muatan warga melaju menuju Tempat Pemampungan Akhir.
Evakuasi
Kami memutuskan untuk segera berpamitan supaya relawan di posko Jrakah ini bisa segera memberikan bantuan kepada warga. Mobil milik Pondok Indah turun ke arah Blabak, Magelang. Saya menumpang mobil Elf GKI Sangkrah yang dikemudikan oleh pdt. Janoe. Sepanjang jalan pulang, kami menyaksikan situasi genting warga yang mengungsi. Ada yang berjalan kaki sambil menggendong perbekalan, ada yang naik sepeda motor, ada yang naik mobil pick up.
Anehnya, kendaraan yang berasal dari bawah (Boyolali) justru telah tertutup debu yang sangat tebal. Pada saat yang bersamaan hujan gerimis. Para pengendara sepeda motor menggunakan mantel serba putih karena tertutup debu. Abu vulkanik mulai mengotori kaca depan mobil kami. Celakanya, saat akan dibersihkan, tangki air untuk semprotan wiper ternyata kosong. Sebagai tindakan darurat, kami menjulurkan tangan keluar kaca untuk mengguyur kaca mobil dengan air minum kemasan gelas.  Sesampai di Boyolali, kami mampir ke SPBU untuk mengisi tangki wiper.  Namun sudah terlambat karena perjalanan selanjutnya menuju Klaten tidak terguyur debu sama sekali.
Photobucket
Debu Abu abu-abu
Photobucket
Jalan utama Boyolali
Photobucket
Pasar Cepogo
Abu
Membersihkan kaca
__________________All About Writings

Jumat, 29 Oktober 2010

Respons Merapi 29 Oktober

Tanggal 29 Oktober, Tim Tanggap Bencana Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Tengah kembali menyalurkan bantuan. Dengan menggandeng Pundi Amal SCTV, tim Medis Obor Berkat Indonesia dan Gereja Kristen Jawa di Klaten, kami meluncur ke lereng utara Merapi. Tujuannya menyisir para pengungsi yang belum terjamah bantuan karena ketiadaan liputan media. Kali ini kami juga membawa kontributor Liputan 6 SCTV.
Cerita selengkapnya akan ditambahkan kemudian setelah saya beristirahat dan pikiran menjadi segar. Berikut ini foto-foto para laskar pahlawan kesiangan:
Photobucket
Puncak Merapi dilihat dari Selo
Update:

Malam sebelumnya, pdt. Sugeng menginformasikan bahwa tim medis dari Obor Berkat Indonesia (OBI) minta diantar ke wilayah yang belum dijamah bantuan. Sehari setelah erupsi pertama, mereka sudah membawa 30 dokter ke Yogya. Namun setelah melihat bahwa suplai tenaga medis di Yogya sudah memadai maka sebagian besar dokter langsung berangkar ke Mentawai, menyisakan 4 dokter.

Saya merencanakan mengajak mereka untuk melayani di Boyolali, yaitu di pos pengungsian mandiri yang diampu oleh Lembaga Bakti Kemanusiaan Umat Beragama (LBK-UB) Boyolali.
Photobucket


Sudah ada bantuan 50 box Aqua gelas dan 50 bal mie kering, biskuit, dan kasur. Saya menghubungi pdt. Sutomo untuk mengirimkan relawan dan mobil pick up. Dari pdt. Simon Julianto, yang menjadi koordinatoe LBK-UB didapat informasi bahwa yang dibutuhkan pengungsi adalah hygiene kit dan makanan siap santap. Maka kami kemudian berbelanja sabun, pasta gigi, sikat gigi, sabun colek, obat anti diare dan obat tetes mata. Tak lupa membeli bahan makan untuk keperluan dapur umum seperti beras, ikan asin, abon, kecap, bumbu dll. Dibutuhkan satu pick up lagi untuk mengangkutnya. Koh Yoyok mendapatkan pinjaman pick up grand max dari sebuah paguyuban tionghoa. Mobilnya masih gres. Angka di speedometernya saja baru tertera 150 km. Sambil menyerahkan mobil, koh Yoyok mewanti-wanti, “Mas Wawan, mobil ini masih baru. Hati-hati ya.”
Pukul 10, tim OBI sampai di Klaten. Mereka juga membawa tim Pundi Amal SCTV. Rencana perjalanan bergeser sedikit karena kami harus menjemput kontributor SCTV di Delanggu. Rutenya agak melambung ke kanan, melalui Sawit, Pengging, Mojosongo, Boyolali dan berhenti di kantor LBK-UB di jalan ke Selo km 2. Di sini, kami mendapatkan paparan tentang situasi terkini dari pdt. Simon. Mereka melayani warga di wilayah Jrakah, Klakah dan Tlogolele yang luput dari perhatian pemerintah.
Setelah makan siang, rombongan segera mendaki punggung Merbabu menuju Selo, melewati Cepogo. Sesampai di desa Jrakah, kami berhenti sejenak di pos LBK-UB untuk menunggu 2 mobil pick up yang terseok-seok karena sarat muatan. Karena waktu yang terbatas, kami memutuskan meninggalkan 2 mobil itu di pos Jrakah. Sementara 4 mobil berisi sekitar 20 penumpang melanjutkan perjalanan ke gunung Merapi. Tujuan pertama kami adalah ke Tlogolele. Medannya tidak mudah. Kami melewati jalan aspal yang sudah berlobang sana-sini dengan tanjakan dan turunan dan tajam. Kami juga harus melewati kali Apu, yang menjadi jalur aliran lahar Merapi. Saat menyeberang, rombongan harus ekstra waspada sebab sewaktu-waktu bisa diterjang lahar panas atau dingin.
Ternyata tidak banyak pengungsi yang ada di ini karena mereka kembali ke rumah mereka pada siang hari. Baru pada malamnya, mereka akan kembali ke Tempat Pengungsian Sementara (TPS). Perjalana diteruskan ke Srengi. Di sini pun tidak ada pengungsi yang terlihat sehingga tim medis OBI tidak bisa segera beraksi.
Matahari sudah bergulir ke Barat. Kami bergegas ke Sewukan, kecamatan Dukun, Magelang . Di sini ada 1115 pengungsi yang berjejal di kelas-kelas SD. Kondisinya memprihatinkan. Belum ada dapur umum. MCK dan air bersih juga tidak memadai. WC untuk pria hanya berupa selokan yang ditutup dengan spanduk bekas.
Mereka baru mendapat bantuan pada hari ke-3 setelah bencana. Ada mie gratis dari pabrik mie instan. Ada mobil van milik satu operator seluler. Namun saya tidak tahu kegiatan mereka di sana, apakah menyediakan sambungan komunikasi atau menyalurkan bantuan. Ada juga spanduk dari maskapai penerbangan nasional. Setelahs aya tengok ke gudang, ada dos-dos yang ditenpeli fotokopian logo maskapai. Rupanya mereka menyuplai bantuan, memasang spanduk besar lalu ditinggal pergi. Praktik seperti ini lazim ditemui dalam kebencanaan. Mereka kirim bantuan, pasang penanda kehadiran, lalu ditinggal pergi, tanpa ada follow up (Ah jadi teringat salah satu hewan yang mengencingi tempat tertentu sebagai penanda teritorialnya).
Tim medis OBI mengadakan pembicaraan dengan pengelola barak pengungsi. Saat kami datang, sedang ada pelayanan kesehatan dari tim medis Rumah Zakat. Namun mereka hanya bisa melayani sampai pukul 15. Setelah itu tidak ada tim medis yang bersiaga. Dengan kondisi ini, tim OBI datang tepat waktu karena mengisi kekosongan di Sewukan ini. Namun persoalannya tidak semudah itu. Ternyata kantributor SCTV keberatan untuk melakukan peliputan karena barak pengungsi itu berada di wilayah Magelang. Sementara wilayah peliputannya adalah di Boyolali dan Klaten. Hal ini berimbas kepada Pundi Amal SCTV. Tanpa liputan dari wartawan, mereka juga enggan beroperasi. Seperti kartu domino, efek ini mengimbas kepada tim medis OBI. Tanpa dukungan dari Pundi Amal, tim OBI juga kesulitan beroperasi karena meskipun secara struktural berbeda kelembagan, namun mereka memiliki kerjasama yang erat. Muncul kebingungan selama beberapa saat. Sementara itu, udara di barak pengungsian terasa sangat panas, padahal berada di dareah yang sangat tinggi. Kami menduga hawa panas ini dampak dari lava Merapi yang terlihat jelas dari barak ini.
Photobucket
Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke wilayah Boyolali. Di desa Tlogolele, kami membuka pos pelayanan kesehatan dadakan. Padahal belum ada pasien yang akan dilayani. Salah satu warga berinisiatif mengumumkannya dari corong di masjid. Tak lama kemudian, warga berdatangan. Kontributor SCTV segera merekam gambar dan melakukan wawancara. Anak-anak yang sehat juga dikumpulkan untuk diperiksa. Mereka diberi vitamin dan minuman enegi. Tentu saja mereka senang. Beberapa warga manula yang karena tubuhnya lemah tidak bisa datang ke pelayanan kesehatan dijemput dengan mobil. Di sini terjadi insiden kecil. Bagi desa itu, jarang sekali ada mobil. Maka ketika ada mobil datang, anak-anak merubung mobil. Jari (6 tahun), ikut-ikutan melongok ke dalam mobil. Salah satu tangannya menempel pada pinggiran pintu yang terbuka. Tiba-tiba salah satu warga menutup pintu mobil dan menjepit tangan Jari. Jari menjerit kesakitan sambil memegang jari-jarinya. Namun ketika diajak untuk memeriksakan ke dokter, Jari menolak. Relawan berkali-kali membujuk, tapi Jari bergeming. Dengan perasaan tidak enak, Relawan mengantarkan pasien manula ke pos pelayanan kesehatan.
Pemeriksaan kesehatan berakhir menjelang Maghrib. Setidaknya ada 70 warga yang mendapat pelayanan kesehatan. Rombongan lalu dibagi dua. Rombongan Pundi Amal SCTV dan tim medis OBI pulang ke Jogja melalui Blabak. Sedangkan tim dari Boyolali dan Klaten menelusuri jalur semula. Kami harus mengambil kembali mobil pick up yang ditinggalkan di Jrakah.
Sampai di Klaten pukul 20 dengan kondisi capek dan kelaparan. Kebetulan di gereja ada acara Bulan Keluarga dan masih ada sisa timlo. Tanpa dipersilakan, kami langsung menyikat timlo.
Wawancara
Photobucket --------------- Photobucket ----------------- Photobucket
__________________All About Writings

GKI SW Jateng GKI KlatenBlog WawanNulis Yuk