Sabtu, 18 Desember 2010

Posted by Purnawan Kristanto on/at 00.48

Warga desa Bawukan dan Gemampir sudah pulang dari tempat pengungsian yang kami kelola. Saat mereka sampai ke rumah masing-masing, mereka mendapati bahwa tandon air mereka telah tercemari abu vulkanik. Saat mengungsi, mereka lupa menutup atau memindahkan talang air. Akibatnya, abu vulkanik masuk ke dalam persediaan air mereka. Air yang sudah tercemar ini tidak bisa dikonsumsi atau dipakai untuk mandi karena membuat gatal-gatal.
Bersama dengan pdt. Sugeng Prasetya, pdt. Ndaru dan 3 relawan lainnya, kami bergerak naik ke lereng Merapi, sambil membawa pasokan air minum dalam kemasan. Tujuan pertama adalah gereja pepanthan Teglasari, GKJ Manisrenggo. Di sana sudah menunggu puluhan relawan dari pemuda GKJ Klaseman. Mereka ingin membantu warga dusun Bawukan yang baru saja pulang dari tempat pengungsian untuk membersihkan rumah masing-masing,
Photobucket
Setelah menurunkan air minum, kami meneruskan perjalanan ke desa Gemampir. Tujuannya adalah untuk monitoring pengurasan air di tanodn-tandon milik warga.
Sebagai informasi, desa ini selalu kekurangan sumber air bersih terutama pada musim kemarau. Untuk itu, mereka membuah kolam dari semen yang mengumpulkan  curahan air hujan  dari atap.
Mulai Selasa, 16 Nopember, tim tanggap bencana di GKI dan GKJ Klaten mengerahkan mesin penyedot air untuk menguras air kotor tersebut. Selanjutnya, kami juga memasok 2 tangki air bersih (10 ribu liter) kepada setiap pemilik tandon air. Untuk desa Gemampir, dibutuhkan 464 tangki air, dengan biaya Rp. 50 ribu/tangki. Total dibutuhkan dana Rp. 23.200.000,- Angka ini baru untuk satu lokasi. Masih ada satu lokasi lagi yang akan menjadi sasaran pembersihan, yaitu desa Bawukan
Photobucket
Pompa air
Photobucket
Kuras air
Photobucket
Saat ini kami sudah mendapat dana dari gereja Kalam Kudus Solo untuk membeli empat pompa air. Yang dibutuhkan adalah uang untuk membeli air bersih. Kini saat yang tepat untuk menunjukkan bahwa gereja tidak latah dengan pihak lain dalam tanggap bencana ini.
Di dalam tanggap bencana ini, ada dua tipe filantropis: Filantropis Laron dan Filantropis Semut.  Filantropis Laron adalah orang-orang yang tergerak untuk membantu sesamanya setelah ada liputan media. Mereka seperti laron yang selelu berkerumun di sekitar lampu. Jika lampu itu mati, maka laron akan menjauh pergi.
Sedangkan Filantropis Semut adalah orang-orang yang setia mendampingi penyintas meskipun  gegap gempita euforia penderma memudar dan liputan media menyurut.
Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk di antara kedua tipe tersebut. Untuk penanganan yang darurat dan massif, memang dibutuhkan filantropis laron yang bergerak secara spontan dan cepat.  Namun, setelah itu, dibutuhkan filantropis semut untuk membersihkan sisa-sisa pekerjaan yang ditinggalkan oleh laron-laron.
Photobucket
Saat bersiap pulang, roda mobil yang kami pakai ternyata bocor. Ada skrup yang tertancap di roda tersebut. Pendeta Bdaru yang selama tanggap darurat ini meminjamkan mobilnya sekaligus menjadi sopir, dengan cekatan mengganti roda yang bocor. Sejak awal, pendeta GKJ Pedan ini sudah terlibat dalam pos kemanusiaan di Klaten. meski rumahnya berjarak lebih dari 20 km dari kota Klaten, tapi pagi-pagi setelah mengantar anak, dia sudah nongkrong di posko. Akibatnya muncul guyonan, selama tanggap darurat, pekerjaan pendeta Ndaru adalah sopir relawan. Aedangkan pekerjaan sampingannya adalahs ebagai pendeta.
Photobucket

GKI SW Jateng GKI KlatenBlog WawanNulis Yuk