Senin, 27 Desember 2010

belajar dari Rumput Yang Bergoyang

12930352852097494773
Pertama kali aku sampai di wilayah yang diterjang awan panas Merapi, atmosfer mendadak berubah seperti menonton televisi era 1970-an. Hanya ada dua warna yang dominan yaitu hitam dan putih dengan berbagai gradasi. Kayu-kayu pohon menghitam karena hangus terbakar. Seluruh permukaan yang ada di atas tanah berwarna abu-abu karena tertutup abu vulkanik.
Akan tetapi seminggu kemudian, setelah hujan turun suasananya mulai berubah. Mulai terlihat warna hijau dari rumput, pisang dan talas yang mulai tertunas setelah dibelai air hujan. Ketiga pohon ini terbukti mampu cepat pulih dibandingkan dengan tumbuhan yang lain. Tumbuhan jenis ini cenderung dipandang sebelah mata. Bahkan kadangkala tidak dipandang sama sekali sehingga tanaman ini sering terinjak dan tergilas oleh makhluk hidup atau benda bergerak yang lebih besar.
Photobucket
Melihat ini kejadian ini tiba-tiba aku teringat kata-kata bijak tentang kekhawatiran. Rumput adalah tanaman yang berumur sangat pendek. Hari ini bertunas, esok berbunga, lusa mati. Begitu singkat hidup rumput. Meski begitu, Tuhan masih sempat mendandani tanaman dengan daun dan bunga yang menakjubkan.
Jika Tuhan memakai perhitungan ekonomis, mestinya tak perlu repot-repot mendesain rumput dengan keindahan. Toh hidupanya sangat singkat, bahkan teramat singkat jika lebih dulu disenggut sapi sebelum sempat berbunga. Akan tetapi Tuhan tetap memberi perhatian khusus kepada rumput. Jika Tuhan sedemikian mempedulikan rumput yang hari ini berbunga mekar dan besok layu, bukankah pasti Ia akan mempedulikan aku sebagai manusia? Bukankah aku ini lebih berharga daripada rumput, talas dan pisang?
Photobucket
Pelajaran kedua, rumput, talas dan pisang lebih cepat bertunas kembali setelah sama-sama tersapu awan panas. Sementara itu pohon yang berkayu keras seperti sengon, mahoni, kelapa dan nangka masih terlihat meranggas. Entah kapan mereka akan bersemi kembali, atau bahkan tidak akan bersemi kembali.
Di sini aku belajar bahwa pihak yang kecil dan lemah seringkali justru lebih cepat mengalami pemulihan daripada pihak yang besar dan kuat. Kebangkitan ekonomi Indonesia setelah terpuruk pada akhir dekade 1990-an justru dipelolpori oleh pengusaha-pengusaha kecil dan menengah ke bawah. Perahu yang kecil lebih lincah melakukan manuver dibandingkan dengan kapal besar.
Meskipun kadang merasa tak berdaya dan tidak menjadi apa-apa di dunia ini, ternyata tidak semua memandangku sebelah mata. Penciptaku selalu memberikan perhatian istimewa. Kalau aku terpuruk, aku tahu bisa cepat pulih karena Dia memberikan kekuatan untuk menopangku.
12930345251081890327
__________________All About Writings

Sabtu, 18 Desember 2010

Bursa Pameran Pelayanan

Pada tanggal 15 Desember, Satgas Tanggap Bencana GKI SW Jateng diundang oleh Yakkum untuk mengisi stan dalam Pameran dan Bursa Pelayanan, kepada Penyintas Wasior – Mentawai – Merapi , di ballroom hotel Paragon Solo. Tujuan dari acara ini adalah untuk mengucap syukur karena masa tanggap darurat bencana telah selesai, para petugas kemanusiaan telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik; memberi penghargaan kepada pimpinan penyintas dan relawan yang menunjukkan dedikasi dan solidaritas luar biasa dalam tugas kemanusiaan yang dilakukan YAKKUM bersama para Penyintas; komitmen semua orang yang tidak terkena bencana untuk membantu kesulitan penyintas dan membantu proses re-habilitasi dan rekonstruksi penyintas. Satgas GKI mendapat stan berdampingan dengan stan GKJ, yang kemudian diputuskan untuk digabung menjadi satu karena selama masa tanggap darurat memang sudah bekerja sama dengan erat.
Lawak Punakawan
Lawak Punakawan
Acara  dikemas dalam bentuk Pameran Kegiatan Kebencanaan Unit YAKKUM dan Para Mitra YAKKUM serta Bursa Pelayanan Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Dalam pameran ini dibuka 20 stand kecil untuk memaparkan foto kegiatan dari lembaga-lembaga Kristen yang melakukan respons pada bencana di tiga rempat tersebut.  Selain Pameran dan Bursa, juga digelar acara Talk Show: Refleksi, Kesaksian, dan Pengembangan Komitmen Pelayanan dengan pemandu Nico Siahaan. Satgas GKI, dengan mengandeng GKJ, mendapat kesempatan untuk menampilkan Badut Sulap dan lawak Punakawan sebagai pembuka acara.  Lawak punakwan dibawakan oleh pdt. Krisapndaru (GKJ Pedan), Pdt. Sutomo (GKJ Gondangwinangun), Bowo dan Garu. Mereka menyelipkan kritik dan sentilan seputar pelayanan kebencanaan. Puncak dari acara tesebut adalah kesaksian yang diberikan oleh Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Bp. Surono atau lebih akrab sering dipanggil "Mbah Rono."
Sepedamotor terbakar
Mbah Rono bersaksi
Untuk mengisi stan pameran, Satgas GKI langsung mendatangkan sepeda motor yang terbakar akibat awan panas, menghamparkan pasir vulkanik dan memboyong kayu-katu yang terbakar. Selain itu, juga menampilkan foto-foto keguatan selama tanggap darurat.  Pameran dibuka mulai pukul 13, dengan dihadiri lebih dari 500 orang dari berbagai lembaga pelayanan. Acara diakhiri pada sekitar 10 malam dengan tarian yang dilakukan oleh pemuda dari Papua yang kemudian mengajak seluruh panitia, relawan dan pengunjung yang tersisa untuk menari bersama-sama. Akhir acara yang indah, menggambarkan ucapan syukur karena telah menyelesaikan masa tanggap darurat.
Bersukacita

Suplai Air Bersih untuk Penyintas Merapi

Warga desa Bawukan dan Gemampir sudah pulang dari tempat pengungsian yang kami kelola. Saat mereka sampai ke rumah masing-masing, mereka mendapati bahwa tandon air mereka telah tercemari abu vulkanik. Saat mengungsi, mereka lupa menutup atau memindahkan talang air. Akibatnya, abu vulkanik masuk ke dalam persediaan air mereka. Air yang sudah tercemar ini tidak bisa dikonsumsi atau dipakai untuk mandi karena membuat gatal-gatal.
Bersama dengan pdt. Sugeng Prasetya, pdt. Ndaru dan 3 relawan lainnya, kami bergerak naik ke lereng Merapi, sambil membawa pasokan air minum dalam kemasan. Tujuan pertama adalah gereja pepanthan Teglasari, GKJ Manisrenggo. Di sana sudah menunggu puluhan relawan dari pemuda GKJ Klaseman. Mereka ingin membantu warga dusun Bawukan yang baru saja pulang dari tempat pengungsian untuk membersihkan rumah masing-masing,
Photobucket
Setelah menurunkan air minum, kami meneruskan perjalanan ke desa Gemampir. Tujuannya adalah untuk monitoring pengurasan air di tanodn-tandon milik warga.
Sebagai informasi, desa ini selalu kekurangan sumber air bersih terutama pada musim kemarau. Untuk itu, mereka membuah kolam dari semen yang mengumpulkan  curahan air hujan  dari atap.
Mulai Selasa, 16 Nopember, tim tanggap bencana di GKI dan GKJ Klaten mengerahkan mesin penyedot air untuk menguras air kotor tersebut. Selanjutnya, kami juga memasok 2 tangki air bersih (10 ribu liter) kepada setiap pemilik tandon air. Untuk desa Gemampir, dibutuhkan 464 tangki air, dengan biaya Rp. 50 ribu/tangki. Total dibutuhkan dana Rp. 23.200.000,- Angka ini baru untuk satu lokasi. Masih ada satu lokasi lagi yang akan menjadi sasaran pembersihan, yaitu desa Bawukan
Photobucket
Pompa air
Photobucket
Kuras air
Photobucket
Saat ini kami sudah mendapat dana dari gereja Kalam Kudus Solo untuk membeli empat pompa air. Yang dibutuhkan adalah uang untuk membeli air bersih. Kini saat yang tepat untuk menunjukkan bahwa gereja tidak latah dengan pihak lain dalam tanggap bencana ini.
Di dalam tanggap bencana ini, ada dua tipe filantropis: Filantropis Laron dan Filantropis Semut.  Filantropis Laron adalah orang-orang yang tergerak untuk membantu sesamanya setelah ada liputan media. Mereka seperti laron yang selelu berkerumun di sekitar lampu. Jika lampu itu mati, maka laron akan menjauh pergi.
Sedangkan Filantropis Semut adalah orang-orang yang setia mendampingi penyintas meskipun  gegap gempita euforia penderma memudar dan liputan media menyurut.
Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk di antara kedua tipe tersebut. Untuk penanganan yang darurat dan massif, memang dibutuhkan filantropis laron yang bergerak secara spontan dan cepat.  Namun, setelah itu, dibutuhkan filantropis semut untuk membersihkan sisa-sisa pekerjaan yang ditinggalkan oleh laron-laron.
Photobucket
Saat bersiap pulang, roda mobil yang kami pakai ternyata bocor. Ada skrup yang tertancap di roda tersebut. Pendeta Bdaru yang selama tanggap darurat ini meminjamkan mobilnya sekaligus menjadi sopir, dengan cekatan mengganti roda yang bocor. Sejak awal, pendeta GKJ Pedan ini sudah terlibat dalam pos kemanusiaan di Klaten. meski rumahnya berjarak lebih dari 20 km dari kota Klaten, tapi pagi-pagi setelah mengantar anak, dia sudah nongkrong di posko. Akibatnya muncul guyonan, selama tanggap darurat, pekerjaan pendeta Ndaru adalah sopir relawan. Aedangkan pekerjaan sampingannya adalahs ebagai pendeta.
Photobucket

Senin, 06 Desember 2010

Wisata Bencana

Pemandangan wilayah yang tersapu awan panas Merapi membuat bulu kuduk merinding. Menginjak wilayah ini seolah-olah melihat televisi era 1970-an. Warna yang dominan adalah hitam-putih. Seperti melihat foto dengan format grayscale.
Sebelum ke wilayah ini, kami lebih dulu mendampingi guru dan karyawan SMP Kristen dan jemaat GKI beranjangsana ke dusun Remeng, desa Tlogowatu. Dengan mengendarai 6 mobil, kami berkonvoi ke desa di sebelah tenggara Merapi, berjarak sekitar 8 km dari puncaknya. Setelah menurunkan bantuan dan mencomot ubi goreng, kami berlima sengaja meninggalkan rombongan yang sedang menjalani ritus ramah-tamah.
Sasaran kami adalah puncak Deles, sebuah tempat wisata di Klaten yang mirip dengan Kaliurang. Suasananya masih sepi. Belum banyak warga yang kembali ke rumah masing-masing, namun barikade polisi sudah disingkirkan. Sesampai di tepian kali Woro, terlihat pohon-pohon yang hangus terbakar di sepanjang aliran sungai. Dengan perasaan miris kami mendekati jurang tepian kali Woro. Tiba-tiba seekor monyet melintas sambil menyeringai, menunjukkan taringnya. Ah, masih ada monyet! Ini pertanda baik bahwa wilayah ini akan segera pulih. Hewan-hewan liar ini mampu menyelamatkan diri dari sergapan awan panas.
Salah satu relawan bergegas ke mobil untuk mengambil biskuit. Dia buru-buru melemparkan isi biskuit ke monyet. Mula-mula monyet itu tampak ragu-ragu. Namun rasa lapar telah mengalahkan kecurigaannya. Dia mencomot sepotong biskuit dan melahapnya. Monyet lain datang. Dia ikut mengambil biskuit. Lalu datang monyet lagi, dan lagi, dan semakin banyak monyet yang berdatangan. Ada lebih dari 20 monyet yang menikmati makan siang gratis.
Photobucket
Karena guyuran hujan dan udaranya yang dingin, beberapa relawan harus menandai wilayah Deles, ala anjing. Setelah itu merayap lagi ke arah Kedungpring, puncak tertinggi di Deles. Pemandangan kiri dan kanan seperti padang tundra. Pohon-pohon berawarna hitam karena hangus terbakar. Pohon kelapa tumbang. Akarnya menyembul keluar. Mungkin karena tidak kuat menahan beratnya pasir yang teronggok di pelepah daunnya. Uniknya, rumput-rumput justru mulai menghijau bersemi.
Mobil kami sesekali terpaksa berhenti karena harus menyingkirkan pohon-pohon yang melintang di jalan. Sesaat sebelum mencapai puncak, mobil tidak bisa maju sama sekali karena pohon besar melintang di jalan. Sementara itu, pengendara sepeda motor berboncengan yang ada di depan kami juga berbalik turun.
“Ada apa mas?” tanya kami penasaran.
“Di atas petir sambar-menyambar,” jelas mereka. “Kami putuskan turun saja.”


Kami tidak mau ambil risiko. Kami putuskan untuk turun saja. Masalahnya, tidak ada tempat untuk memutar mobil. Maka mobil hanya bisa berjalan mundur selama sekitar 600 meter. Kami beristirahat di Pesanggrahan PB X untuk makan siang. Bangunanya masih penuh dengan debu Merapi. Mungkin kami adalah orang pertama yang masuk ke tempat ini setelah erupsi.
Dengan perut kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke arah Kemalang. Saat melintas di desa Dompol terlihat penjual duren. Daerah ini memang penghasil buah duren. Namun karena curah hujan yang tinggi, tidak banyak pohon duren yang berbuah pada musim ini. Meski perut sudah kenyang, namun masih ada ruang kosong bagi buah berbau menyengat. Tawar-menawar dengan simbah, disepakati 3 butir duren untuk 50 ribu rupiah.
PhotobucketSayangnya, begitu disantap, rasanya anyep. Tawar. Hampir tidak ada rasanya sama sekali. Pembeli kecewa. Rupanya ini taktik dagang simbah penjual duren. Dia lalu menawarkan duren yang lebih manis. Namun duren ini tidak utuh lagi karena ada bekas gigitan tupai. Tapi justru itu menandakan bahwa duren itu sudah tua dan berasa manis. Apa boleh buat. Kami merogoh lembaran 20 ribu untuk mengobati kekecewaan.
Sambil bersendawa duren, kami melaju ke desa Pijenan. Untuk menghemat waktu kami ambil jalan pintas. Kami sempat tersesat di jalan desa yang di jalan berlumpur. Agus Permadi memutuskan untuk menelepon pegawainya yang rumahnya di dekat kami tersesat. Pegawainya datang untuk menunjukkan “jalan yang benar.” Kami menyeberang kali Woro melewati dam yang meghubungkan desa Talun dan Kendalsari. Pada Tanggal 1 Desember, di desa ini terjadi banjir lahar dingin. Material padat yang terbawa aliran air itu sudah mengisi dam sampai penuh. Saat melintas di atas dam, kami terkejut melihat hamparan pasir di atas sungai itu sudah dipasangi patok oleh para penambang pasir. Meskipun sewaktu-waktu bisa ada hempasan lahar dingin, namun mereka tidak mau berlama-lama sebab bisa didahului pihak lain. Truk-truk pengangkut pasir pun sudah bersiaga di tepian sungai.
Sekali salah jalan.Masuk ke pertambangan pasir dengan alat berat. Dikeruk habis-habisan. Tebing-tebing tinggi dan lobang yang sangat dalam.
Saat melintasi desa Talun, kami menjumpai banyak lobang-lobang di dalam tanah bekas penambangan pasir. Alam di sini sudah rusak karena pertambangan menggunakan alat berat semacam backhoe atau warga setempat menyebutnya “begu.” Lanskap di sini sudah mirip dengan Freeport mini.
Kami berbelok ke kanan menuju hulu sungai Woro. Dari atas tebing ini, terlihat gubuk dengan atap dari terpal di dasar sungai. Bangunan itu adalah tempat perteduhan para penambang. Kalau sudah menyangkut urusan perut kadangkala potensi bahaya pun ditepis.
Photobucket
Setelah itu kami melambung ke arah barat menuju menuju Balerante, desa tertinggi di wilayah kabupaten Klaten. Pemandangannya sangat mengenaskan. Desa ini sudah luluh lantak. Zero Ground. Rumah-rumah hangus terbakar. Ternak peliharaan mati karena tidak sempat diselamatkan. Ketika mati juga tidak sempat dikuburkan. Jalan satu-satunya adalah membakar bangkainya yang meninggalkan bau yang menyengat. Lalat-lalat berterbangan di wilayah desa ini. Entah bangkai apalagi yang mereka buru.
Photobucket
Desa ini telah menjadi desa mati. Hanya ada sekelompok pria yang menjaga desa ini. Selebihnya, ada 144 KK yang mengungsi di desa Kepurun. Mereka tidak mungkin pulang dalam waktu dekat karena rumah mereka sudah tidak bisa dihuni. Listrik belum menyala dan pasokan air bersih juga terhenti karena mata air tertutup lahar Merapi.
Photobucket
Matahari sudah bersembunyi di Barat, sementara hujan tak juga jeda. Kami harus pulang supaya tidak kemalaman. Kami mampir sejenak di desa Srunen. Jenazah mbah Maridjan dimakamkan di desa ini, namun kuburannya tidak diketahui karena sudah tertimbun pasir Merapi. Sekali lagi hidung kami harus bersahabat dengan bau bangkai yang menyengat. Lalat juga berdengung-dengung. Bahkan sebagian masuk ke dalam mobil.
Photobucket
Dalam perjalanan turun, kami mampir sejenak di kali Gendol. Tiga hari sebelumnya, kami sudah pernah ke sini. Di tepi aliran sungai ini, ada perkampungan yang terkubur dalam pasir. Sejauh mata memandang, hanya terlihat pemandangan yang abu-abu, hitam dan putih. Rupanya sudah terjadi perubahan. Tiga hari yang lalu, bagian tengah sungai masih tertutup pasir. Namun karena hujan, pasir itu sudah hanyut sehingga bagian tengah sungai mulai terlihat kedalamannya.
Photobucket
Rupanya telah terjadi banjir besar di sungai itu. Hal itu terlihat dari batang-batang pohon besar yang terhanyut dan memotong jalan aspal menuju Kepurun. Mobil kami tidak mungkin menerobos halangan itu. Kami terpaksa mengambil jalan kecil melewati perkampungan. Kami harus bergegas karena hari sudah hampir gelap. Namun karena tergesa-gesa, kami nyaris menabrak bentangan kabel listrik yang jatuh ke tanah. Untung rem mobil masih pakem. Sejenak kami ragu-ragu untuk menyingkirkan kabel itu karena takut masih ada aliran listriknya. Kami juga tidak berani menggunakan ranting kayu untuk menggeser bentangan kabel itu karena basah oleh hujan. Karena tidak bisa menunggu waktu lagi, akhirnya Bowo memberanikan diri untuk menguji kabel itu dengan seutas ranting. Untunglah kabel itu tidak bersetrum. Maka dia segera mengambil potongan bambu untuk menaikkan kabel itu sehingga kami mobil bisa menerobos di bawahnya.
Photobucket
Dengan badan yang capek dan perut keroncongan, kami mampir di warung nasi goreng B2 di Pandansimping, Klaten. Lumayan!

B2

Klaten, 6 Desember 2010

GKI SW Jateng GKI KlatenBlog WawanNulis Yuk