Kamis, 27 Januari 2011

Menghijaukan Merapi [2]

1296066100942546374
Penghijauan di wilayah sekitar Deles ternyata lebih sulit daripada di Balerante, baik itu dari medannya maupun pelaksanaannya.
Hari Sabtu, 22 Januari, pukul 7:30, kami memberangkatkan relawan gelombang pertama yang terdiri dari rombongan GKJ, Banser NU, dan tim inti Satgas "Derap Kemanusiaan dan Perdamaian" (DKP) dari GKI Klaten. Beberapa rombongan relawan juga berangkat dari tempat lain, yaitu GKJ Gondang, GKJ Manisrenggo, GKJ Karangnongko dan Banser di sekitar Kemalang. Mereka langsung bergerak ke lokasi penanaman.
Sedangkan saya masih tinggal di Klaten untuk menunggu rombongan dari GKI Klasis Semarang Timur dan Barat. Mereka sudah meluncur ke Klaten sejak pukul 4:30, namun di Boyolali, mereka "pecah kongsi." Rombongan pertama lewat Jatinom, sedangkan rombongan kedua melewati Delanggu yang lebih jauh.
Pak Yus yang berada di rombongan kedua menelepon. "Kami baru sampai Penggung. Kami tidak usah ditunggu. Ditinggal saja tidak apa-apa, nanti kami menyusul," katanya.
"Tenang saja pak," kata saya, "kami tunggu pak. Saat ini kami masih menunggu kedatangan dua relawan dari Jakarta." Mereka adalah dua pemuda utusan GKI Wahid Hasyim yang menumpang pesawat paling pagi. Rombongan pak Yus dan dari Jakarta datang hampir bersamaan. Tanpa membuang banyak waktu, saya segera memimpin mereka beriring menuju lokasi.
Cuaca sedikit mendung, namun tidak hujan. Di satu sisi menguntungkan karena relawan tidak terpapar panas matahari. Namun di sisi lain, pemandangan ke arah puncak Merapi terhalang mendung dan kabut. Padahal jika cuaca sangat cerah, rekahan bibir puncak Merapi terlihat dengan sangat jelas di lokasi penghijauan.
Memasuki desa Tegalmulyo, konvoi mobil merayap pelan karena jalan menanjak. Saat memasuki tikungan berbentuk huruf "L", tiba-tiba jalan menanjak. Sopir mobil saya terlambat mengoper ke gigi satu. Saya segera melompat turun, mengambil batu besar untuk mengganjal roda mobil supaya tidak melorot ke bawah. Karena berhenti mendadak, mobil yang ada di belakangnya juga kagok. Sementara dari arah atas, ada seorang ibu menunggang sepedamotor sambil memboncengkan pakan ternak. Dia menjadi panik melihat banyak mobil yang tiba-tiba keluar dari tikungan.

Photobucket
Mobil pengangkut relawan

Rabu, 26 Januari 2011

menghijaukan Merapi [1]

12960163082064542710
Setelah sukses menanam lebih dari 25 ribu bibit pohon di desa Balerante Klaten, pemuda gereja dan Banser NU Klaten akan kembali menghijaukan lereng Merapi. Kali ini dengan lokasi yang berbeda, yaitu di desa Tegalmulyo, kecamatan Kemalang, Klaten.  Penanaman akan dilaksanakan Sabtu, 22 Januari 2011 mulai pukul 8.
Deles dipilih sebagai lokasi penenaman berikutnya karena belum ada pihak yang "menjamah" tempat wisata ini. Sebagai persiapan, tanggal 17 Januari kami melakukan survei di lokasi dengan diantar oleh mas Sukarno, anggota Banser dari kecamatan Kemalang. Dengan mengendarai sepeda motor matik, mas Karno memandu mobil kami menuju desa Sidorejo. Dari tempat wisata Deles Indah masih naik ke arah dusun Pring Cendani. Di wilayah ini sudah tidak ada lagi pemukiman warga karena berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Hampir tidak ada lagi pohon keras yang utuh karena terbakar awan panas dan ambruk tidak kuat menahan terpaan material Merapi.
Jalan menuju lokasi sudah diaspal, namun sudah rusak dan terjal. Batu-batu pelapisnya lepas ketika diinjak. Hal ini akan menyulitkan truk pembawa bibit pohon. Maka kami memutuskan untuk melihat lokasi yang kedua, yaitu di desa Tegalmulyo. Di sini kondisinya "lebih mendingan" daripada desa Sidorejo. Wilayah yang tersambar awan panas tidak begitu luas. Tapi tak ayal pohon-pohon besar bertumbangan karena dihempas material vulkanik.
Photobucket
Puncak Merapi terlihat begitu dekat dari dusun Pajekan, Tegalmulyo, Kemalang, Klaten.
Photobucket
Ini adalah jalur pendakian ke puncak Merapi.


Hari berikutnya, kami menemui perangkat desa Sidorejo untuk menyampaikan keinginan kami menanami wilayah mereka. Sambutan mereka dingin dan tidak menunjukkan antusiasme. Mereka malah menyuruh kami pergi ke kantor kehutanan. Hal ini cukup mengecewakan kami. Dengan hati kesal, kami pun menuju ke kantor kehutanan di Kemalang yang ternyata kosong dan terkunci. Tidak ada pegawai yang masuk kantor yang masih baru itu.
Dengan hati kesal, kami bergerak melambung ke kanan menuju balai desa Tegalmulyo. Ternyata balai desa sudah tutup meski jarum jam belum menunjukkan pukul 12. Karena sudah jauh-jauh ke sini, kami memutuskan untuk mencari kepala desa di rumahnya. Ternyata ada. Namanya pak Sutarno. Berbeda dengan perangkat desa Sidorejo, pak tarno menyambut kami dengan antusias. Dia menawarkan wilayahnya yang terdampak erupsi Merapi untuk ditanami.
Namun karena wilayah ini juga berbatasan dengan TNGM, maka dia langsung menelepon pihak pengurus TNGM untuk berkoordinasi. Ternyata untuk menanami wilayah TNGM kami harus menulis surat dan pegi ke kantor TNGM yang ada di Kaliurang, Yogyakarta.
"Kalau urusannya ribet, sudahlah kita menanam di desa Sidorejo saja," usul saya. Teman-teman dan pak Tarno setuju. Maka kami lalu menetapkan Sabtu, 22 Januari sebagai pelaksanannya.
Persiapan
Tiga hari sebelum pelaksanaan, tepatnya hari Kamis, kami mengirimkan 22 bibit pohon ke lokasi penghijauan. Bibit-bibit itu meliputi 2000 trembesi, 3450 sengon laut, 550 sengon cyclo, 1000 mindi, 3000 akasia, 1000 cengkeh, 1000 jambu biji, 2000 sirsak, 1000 damar, 1000 kelengkeng, 5000 jabon,1000 kayumanis. Untuk mengangkut bibit sebanyak ini dibutuhkan 2 truk dan satu pick up.
Karena lokasinya yang sangat tinggi, dari puncak Merapi hanya sekitar 5 km, maka mobil pengangkut terseok-seok membawa beban berat. Di pintu masuk desa, truk pengangkut sudah menyerah. Tak kuat lagi menanjak. Tak ada pilihan lain selain mengurangi muatan. Separo bibit diturunkan supaya teruk bisa menanjak ke dusun Pajekan.
Photobucket
Menurunkan sebagian bibit karena truk tidak kuat lagi menanjak
Photobucket
Bibit yang akan ditanam. Hujan mulai turun. Kabut mulai melingkup
Sementara itu mobil yang kami tumpangi juga menurunkan 300 kg beras dan minyak goreng di salah satu rumah warga. Rumah ini akan digunakan sebagai dapur umum untuk menyediakan makan siang bagi relawan.
Jumat malam, kami mulai menghitung relawan jumlah relawan akan ikut aksi ini. Ternyata jumlahnya cukup mencengangkan. Banyak pihak yang menyatakan berminat bergabung.  Aksi yang digalang Satgas "Derap Kemanusiaan & Perdamaian” ini akan didukung oleh Bantuan Serbaguna Nahdatul Ulama (Banser NU) di Klaten, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Klaten, Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Klaten, Pedan, Gondangwinangun, Manisrenggo dan Karangnongko. Selain itu, masih ada relawan luar kota yang menyatakan minat untuk bergabung. Dari Jakarta ada tiga orang yang bergabung. Satu orang atas nama pribadi dan dua orang utusan dari GKI Wahid Hasyim. Dari Semarang, GKI Klasis Semarang Barat dan Timur juga akan memberangkatkan relawannya, yang dikoordinasi oleh Yus dan Pdt. Rahmat. Sementara itu Deni mengkoordinasi relawan GKI Boyolali untuk merapat ke Merapi.  Masih ada lagi relawan perseorangan Solo.
Ditotal, jumlanya mencapai 400 orang. Di satu sisi kami senang dengan jumlah ini. Di sisi lain, kami dipusingkan dengan masalah pengaturan parkir. Jalan yang ada lokasi penghijauan sangat sempit, menanjak dan hampir tidak ada tempat parkir. Penyediaan makan siang juga harus dipikirkan. Kami sudah meminta kepada warga setempat untuk memasak makan siang. Pesoalannya bagaimana cara membagi makannya. Kalau berupa nasi bungkus, warga setempat tidak punya tenaga untuk  membungkusi nasi sebanyak 400 buah. Namun jika menggunakan cara prasmanan, kendalanya tidak ada tempat yang cukup luas untuk menampung relawan.  Kami memutuskan untuk memilih cara prasmanan namun dengan bergiliran per kelompok.
Rapat pesiapan ini dilakukan sambil makan malam di warung lesehan pak Waris, dekat lampu merah Bendogantungan. Saat asyik-asyiknya rembugan, tiba-tiba Afia Mien menelepon. Afia adalah relawan perseorangan dari Jakarta. Dia baru saja mendarat di bandara Jogjakarta dan dijemput Erni. temannya dari Solo. Karena delay, dia baru mendarat sekitar pukul 8 malam. Afia menanyakan tempat penginapannya.
"Anda naik apa?"
"Naik bis."
"Turun saja di lampu merah Bendogantungan. Kami sedang makan malam dekat situ. Nanti kami antar ke tempat penginapan." Demikian saran saya. Seperempat jam kemudian, Afia dan Erni sudah sampai dan langsung bergabung dengan kami menikmati bebek goreng.
Pukul sembilan malam, rapat koordinasi ala relawan pun usai. Usai mengantar Afia dan Erni, kami pulang untuk beristirahat. [bersambung]
[Oh ya, ada satu hal yang terlupa. Saat meluncur menuju posko, rem mobil Taft Hiline yang menjadi mobil operasional kami ternyata blong. Untung (orang Jawa selalu beruntung 'kan) kerusakan ini diketahui sebelum kami naik ke Merapi. Bayangkan jika malam itu tidak ada rapat koordinasi dan mobilnya langsung ke Merapi yang curam. Hiiiiii......ngeri.  Kami tidak menceritakan soal rem blong ini pada Afia dan Erni yang pada hari H menumpang mobil ini. Mungkin mereka belum tahu sampai membaca blog ini karena sepanjang perjalanan wajah mereka terlihat tenang. Bahkan sempat tertidur, sementara kami berdebar-debar]
Baca juga:
Deles [Mulai] Indah
Kolaborasi Gereja dan Banser NU 

Sabtu, 22 Januari 2011

Deles [mulai] Indah

12952650431688347025
Foto-foto oleh Purnawan Kristanto


Bonus yang didapatkan oleh relawan Merapi adalah kesempatan melihat pemandangan Merapi yang menakjuban. Tidak setiap hari Merapi menampakkan figurnya secara kasat mata. Dia lebih banyak menyelimuti dirinya dengan kabut atau mendung yang tebal. Hari ini, Senin 17 Januari, kami mendapat kesempatan menikmati keindahan lekuk-lekuk Merapi sepuas-puasnya.
Pukul setengah delapan pagi kami sudah meluncur dengan dua mobil ke arah Kemalang. Agenda kami adalah men-survei kondisi alam sekitar tempat wisata Deles Indah paska erupsi. Kami memiliki rencana untuk menanami lagi wilayah tersebut. Setelah sarapan pagi di Karangnongko, tempat mangkal sopir truk pasir, kami menemui mas Sukarno lebih dulu. Dia adalah anggota Banser NU di kecamatan Kemalang yang akan memandu kami dengan sepeda motor Beat-nya. Dengan lincah, mas Karno meliuk-liuk menghindari lobang di jalan mengarah ke Deles. Wilayah yang masuk di bawah radius 10 km dari puncak Merapi ini sudah dihuni kembali. Warga sudah beraktivitas normal. Kegiatan belajar-mengajar sudah berjalan seperti biasanya. Truk-truk pengangkut pasir juga mulai menjejali jalan, terseok-seok kelebihan muatan menapak turun.
Namun saat masuk tempat wisata Deles Indah, suasananya masih sepi. Portal besi masih melintang di jalan, yang artinya pengunjung umum belum bisa masuk. Penginapan dan villa belum beroperasi. Di pinggir sungai Kali Woro di Deles ini kami pernah memberi makan monyet-monyet liar yang kelaparan. Kawanan ini berhasil lolos dari sergapan awan panas. Selepas hutan wisata, kami mendaki menuju wilayah hutan perhutani yang sudah menjadi padang terbuka. Hampir tidak ada lagi pohon keras yang tetap utuh.
Jalan untuk menuju lokasi sudah diaspal tipis, tetapi kecil dan curam sehingga kami pesimis apakah truk pengangkut bibit punya nyali sampai di lokasi atau tidak.

Photobucket
Perjalanan kami terhenti karena ada batang pohon besar rebah menghalangi jalan. Padahal masih ada desa di seberang bukit yang harus kami survei. Setelah mengambil gambar seperlunya, kami memutuskan untuk mengambil rute alternatif, meskipun lebih jauh. Dengan dipandu mas Karno, kami menuju desa Tegalmulyo. Desa ini adalah base camp terakhir untuk jalur pendakian menuju Merapi.

Photobucket
Base camp pendakian
Jika biasanya kami hanya melihat figur Merapi seperti tumpeng, kali ini kami bisa melihat detil puncak Merapi. Urat-urat Merapi menonjol dengan perkasa. Batu-batu besar menghias sepanjang jalur lahar dingin menuju kali Gendol dan kali Woro. Bibir Merapi terlihat "cuwil" besar. Bahkan kami bisa melihat pergerakan kepulan asap. Benar-benar sebuah pengalaman yang menakjubkan.

Photobucket
Pohon besar mati


Kami merencanakan akan menanami wilayah ini pada hari Sabtu, 22 Januari 2010. Warga setempat bersedia terlibat dalam aksi ini. Selain itu kami akan menggandeng kembali pasukan Banser NU, pemuda GKI, pemuda GKJ dan FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama). Jika Anda berminat bergabung, silakan hubungi saya (0812-273-1237 atau email purnawank@gmail.com).
Video klip puncak Merapi
Photobucket
Rambu
Photobucket
Angin kencang masih melanda wilayah ini. Lihat daun pisang yang tercabik-cabik oleh angin.
Photobucket
Pethakilan

Rabu, 19 Januari 2011

Kristenisasi di Wilayah Bencana?

12951985921732959990
12951997551229362236
Saat menjadi relawan untuk bancana Merapi, saya terusik dengan poster sebuah acara bursa buku  yang tertempel di berbagai tempat di kota Jogja. Setelah itu, ada lagi spanduk dengan nada yang hampir sama terpampang di lereng Merapi, perbatasan Jogja dan Klaten. Isinya tentang peringatan “bahaya Kristenisasi.”
Setengah tahun sebelumnya, kami juga pernah mengalami peristiwa pahit. Saat membangun 36 rumah bagi korban gempa, proyek kami dihentikan oleh laskar “tiga huruf” karena dianggap dapat merusak akidah (Namun setelah melalui pendekatan persuasif, proyek ini akhirnya selesai).
Photobucket
Sebagai relawan yang berbasis lembaga gereja, saya perlu memberikan penjelasan dari perspektif relawan Kristen.
Pertama, gereja itu tidak monolitik. Ada banyak sekali aliran di dalam gereja. Saya mencoba membagikan sudut pandang dari relawan  gereja protestan yang menganut teologi calvinisme. Kami memiliki keyakinan bahwa keselamatan manusia itu merupakan anugerah atau rahmat dari Allah, bukan hasil usaha manusia.  Gereja adalah kumpulan orang-orang yang ditahmati Allah dengan keselamatan. Oleh karena itu orang Kristen selalu mengucap syukur karena sesugguhnya mereka adalah orang berdosa dan tidak layak, namun diselamatkan karena kebaikan hati Allah.
Salah satu ucapan syukur ini adalah dengan melakukan kebaikan kepada sesama manusia. Situasinya dapat digambarkan begini:
Pada akhir zaman, Tuhan membagi manusia menjadi dua kelompok. Kepada kelompok di sebelah kanan-Nya, Tuhan berkata: “Masuklah ke dalam Kerajaan yang sudah disediakan bagi kalian sejak dunia diciptakan. Karena, ketika Aku lapar, kalian memberi Aku makan; ketika Aku haus, kalian memberi Aku air; ketika Aku menjadi orang pendatang, kalian mengajak Aku masuk ke dalam rumah kalian; ketika Aku bertelanjang, kalian memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan berada di dalam penjara, kalian menengok Aku.”
Kelompok yang ada di sebalah kanan itu menjadi heran. “Kapan kami melakukan itu?” Tanya mereka.
Tuhan menjawab, “Ketika kalian melakukan hal itu kepada salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, maka sebenarnya kalian melakukannya kepada-Ku.”
Kemudian Tuhan berpaling kepadaorang-orang  yang di sebelah kiri-Ku serta berkata, ‘Enyahlah kalian, hai orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang sudah disediakan untuk setan dan roh-roh jahat. Karena, ketika Aku lapar, kalian tidak mau memberi Aku makan; ketika Aku haus, kalian tidak mau memberi Aku minum; ketika Aku menjadi pendatang, kalian tidak mau menyambut Aku; ketika Aku bertelanjang, kalian tidak mau memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan di dalam penjara, kalian tidak mau menengok Aku.”
Orang-orang yang ada di sebelah kiri-Nya kaget setengah mati. “Tuhan, kapan kami pernah melihat Engkau lapar, atau haus, atau menjadi pendatang, atau bertelanjang, atau sakit, atau dipenjarakan dan kami tidak menolong Engkau?”
Tuhan akan menjawab, ‘Ketika kalian tidak mau menolong salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, maka sebenarnya kalian tidak mau menolong Aku.”
Kisah ini hendak menyatakan  bahwa ketika kami melakukan pelayanan atau berbuat baik kepada orang-orang yang terpinggirkan itu, sebenarnya kami melakukan-Nya untuk Allah.
Kedua, kekristenan adalah agama yang misioner atau dalam terminologi Islam disebut syiar. Sebagai orang yang mendapatkan hadiah atau anugerah, maka tak elok kalau orang Krsiten tidak mebagi-bagikannya kepada orang lain.  Dalam film “Independence Day”, diceritakan bahwa tentara Amerika berhasil menemukan cara untuk melumpuhkan pasukan luar angkasa yang menyerbu bumi. “Sebarkan berita ini ke seluruh dunia,” perintah panglima tertinggi. Dalam film itu, jika Amerika menyimpan sendiri metode itu, maka mereka akan dicap sebagai bengsa yang egois (terlepas dari kenyataannya bahwa Amerika sering begitu).
Demikian juga dalam kekristenan. Orang yang sudah mendapatkan rahmat dari Allah biasanya tidak tahan untuk tidak menceritakan kabar gembira itu kepada orang lain. Hal itu dapat digambarkan seperti seorang janda yang kehilangan uang di dalam rumahnya. Dia lalu menyalakan pelita dan mencari uang yang sangat bernilai baginya itu. Ketika menemukannya, maka dia tidak tahan untuk tidak menceritakan kegembiraannya itu kepada tetangga-tetangganya. Itu sebabnya kitab suci orang Kristen disebut “Injil”, yang artinya “Kabar Gembira.”
Orang Kristen mendapat mandat dari Tuhan untuk menceritakan kabar gembira itu pada orang lain. Jika tidak melakukannya, maka orang Kristen itu disebut egois. Soal penerimaan orang lain terhadap kabar gembira itu, kami tidak pernah risau sebab seperti yang saya sebutkan di atas, kami yakin bahwa keselamatan itu rahmat dari Allah. Jadi sekalipun kami ngotot habis-habisan meyakinkan seseorang supaya menerika kabar gembira itu, tetapi jika Allah tidak merahmati orang tersebut, maka usaha kami sia-sia.  Sebaliknya, jika Allah memang ingin memberikan rahmat kepada seseorang, maka Dia dapat melakukan cara apa saja, bahkan mungkin dengan cara-cara yang tak terduga.
Itu sebabnya, gereja kami (sekali lagi aliran kami), tidak menggunakan iming-iming sesuatu supaya seseorang menjadi Kristen. Sekali pun kami menggelontor seseorang dengan mie instan satu pick up, jika memang hati orang itu tidak digerakkan oleh Allah, maka tidak ada efeknya.  Lagipula masyarakat sekarang sudah sangat cerdas. Lihat saja praktik politik uang dalam pemilu dan pilkada. Calon pemilih menerima uluran uang dari parpol atau kandidat, tapi ketika masuk ke bilik siapa yang dapat mengontrol pilihannya?
Saat melakukan penghijauan di lereng Merapi, kami bertemu dengan mantan pengungsi yang pernah tinggal di tempat pengungsian yang kami kelola. Kata-kata pertama yang muncul dari mulutnya adalah, “bapak ini yang pernah mentraktir sate pada kami ‘kan?” Saya mengangguk (dalam hati berkata, ‘saya cuma menyalurkan kok. Biayanya dari orang lain’). Perhatikan, mereka lebih ingat “satenya” daripada nama saya atau lembaga saya. Bagi banyak orang, yang diingat adalah aksi dan bantuannya. Mereka tidak mengingat ideologi, ajaran atau siapa yang memberikan bantuan.
Kesimpulannya: orang Kristen diperintahkan untuk menceritakan kabar baik ini kepada semua orang, tapi hasilnya terserah pada Allah.Dalam melakukan ini, iming-iming dengan hadiah itu  tidak banyak efeknya.
Ketiga, dalam kebencanaan dikenal prinsip non-proletisi. Undang-undang no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 3, disebutkan bahwa salah satu prinsip dalam penanggulangan bencana adalah ‘nonproletisi’ [butir i]. Menurut bagian penjelasan UU dimaksud yang nonproletisi adalah larangan untuk menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Hal yang sama dirumuskan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi empat. Dalam kamus ini “proletisi” dirumuskan sebagai “pemberian sumbangan dengan menyebarluaskan agama atau keyakinan pemberi sumbangan.”
Dalam situasi bencana, penyintas berada dalam posisi yang sangat rentan. Daya tawarnya sangat lemah karena sedang membutuhkan uluran tangan. Sedangkan pemberi sumbangan berada pada posisi yang sangat kuat. Dia bisa bebas menentukan kepada siapa akan mengucurkan bantuan dan seberapa banyak akan diberikan. Begitu kuatnya posisi ini sehingga kita seolah-olah dapat berperan sebagai tuhan. Bayangkan, kita dapat menentukan nasib seseorang dengan keputusan kita. Apalagi jika hal itu menyangkut persoalan hidup atau mati.
Dengan demikian, memberikan bantuan disertai niatan untuk mengubah keyakinan si penerima bantuan adalah hal yang tidak etis dan melanggar Undang-undang. Itu sebabnya, sebagai relawan, kami menerapkan prinsip non-proletisi dan non-diskriminatif dalam memberikan bantuan. Alas yang digunakan semata-mata demi kemanusiaan. Tidak ada yang lain.
Semoga sharing ini bermanfaat dan menambah wawasan Anda. Saya tidak membantah bahwa memang ada orang Kristen yang “menumpang” bencana untuk melakukan pekabaran Injil atau dalam istilah populer disebut “kristenisasi.” Namun jumlahnya sangat sedikit. Meski begitu, sebagaimana sejumput ragi yang mengkhamirkan seonggok besar gandum, kadangkala pihak luar menganggap semua orang Kristen melakukan demikian. Saya  ingin mengatakan bahwa tidak semua gereja melakukan itu. Di gereja kami, tidak ada yang namanya gerakan “kristenisasi” secara sistematis di dalam kebencanaan.

Jumat, 07 Januari 2011

Kolaborasi Banser-Gereja


Erupsi Merapi menyebabkan vegetasi yang ada di sekitar lerengnya mati karena terbakar dan tertutup pasir. Untuk menghijaukan kembali lereng Merapi, maka pemuda gereja dan Banser NU (Bantuan Serba Guna Nahdatul Ulama) bahu-membahu menanam bibit pohon di desa Balerante, kecamatan Kemalang, Klaten, 6 Januari 2010.
Tepat pukul delapan, empat truk dan puluhan kendaraan pribadi yang mengangkut 427 relawan berkonvoi mendaki punggung Merapi. Sesampai di lokasi, mereka segera membagi diri untuk menanam 15 ribu batang pohon di lereng Merapi.
Komponen yang terlibat dalam aksi ini meliput Banser NU. pemuda Gereja Kristen Indonesia (GKI) Klaten, Gereja Kristen Jawa (GKJ) Klaten Klasis Timur dan Klasis Barat. Tak ketinggalan ada delapan pendeta dan calon pendeta yang juga ikut terjun langsung ke lokasi bencana.
Dari Foto
“Aksi penghijauan ini bertujuan untuk mencegah bencana longsor dan sebagai konservasi sumber air bersih di wilayah Klaten, “jelas Agus Permadi, relawan dari Derap Kemanusiaan dan Perdamaiaan yg menjadi koordinator aksi ini. Ada dua jenis pohon yang ditanam. Pertama, pohon yang bernilai eknomis seperti pisang, mlinjo, nangka, apokat dan sirsak. Bibit ini sengaja ditanam di dekat pemukiman warga. Kedua pohon yang berfungsi sebagai konservasi, seperti munggur, sengon siklon, jabon, dan mindi. Pohon ini ditanam di pinggir sungai, tepian jurang dan di dekat Taman Nasional Gunung Merapi.
Dari Foto
“Kami menyambut baik kerjasama ini dan berharap dapat dilanjutkan pada masa yang akan datang,” kata Jafar, komandan Banser NU kabupaten Klaten. “Kami siap mendukung jika gereja akan mengadakan penghijauan di tempat lain, maupun jika akan melakukan aksi sosial lainnya.” Untuk aksi ini, Banser NU mengerahkan 160 orang berasal dari sektor Kota, Kalokotes, Prambanan, Manisrenggo, Kemalang dan Karangnongko.
Dari Foto
Kerjasama lintas iman ini bukan sekali ini dilakukan. Selama bertahun-tahun sudah terjalin hubungan yang harmonis antara gereja dengan NU di Klaten. Setiap Natal dan Tahun Baru, Banser NU selalu menerjunkan anggotanya untuk mengamankan ibadah di gereja. Menjelang Lebaran, gereja juga menjalin kerjasama dengan NU mengadakan pasar murah dan aksi sosial lainnya.
Ketika terjadi erupsi gunung Merapi, desa Balerante mengalami dampak yang paling parah. Awan panas melanda desa ini dan membakar seluruh desa. Sebagian besar warga sudah mengungsi namun tak urung ada dua orang yang meninggal karena awan panas, yaitu Sukarni, 70 tahun, dan Ratno Wiyono alias Walidi, 80 tahun.
Awan panas membakar rumah, sapi, dan fasilitas publik. Pohon-pohon besar menghitam dan meranggas. Beberapa pohon bahkan tumbang dengan akar yang terangkat karena bagian atas tidak kuat menahan material padat yang tertumpuk di dahan dan daun-daunnya. Desa ini sudah menjadi areal terbuka, tak ubahnya padang tundra, karena hampir tidak ada pohon besar yang hidup.
Sebagian warga desa Balerante masih menghuni barak pengungsian di desa Kepurun. Pada pagi hari mereka kembali ke desa untuk membersihkan puing-puing, membangun rumah dan mengurusi ternak. Pada sore hari, mereka kembali ke barak pengungsian karena di desa ini belum bisa dihuni. Listrik belum menyala dan pipa saluran air bersih yang dibangun swadaya rusak karena hangus terbakar.
Dari Foto
Dari Foto
Foto

Kamis, 06 Januari 2011

Elang Jawa di Lereng Merapi

12941572121937675574
Saat mengantarkan bantuan ke Merapi, saya melihat elang jawa terbang  di lereng Merapi ( Selasa, 4 Januari 2010). Elang jawa atau dalam nama ilmiahnya Spizaetus bartelsi adalah spesies langka yang nyaris punah. Burung pemangsa ini berburu dari tempat bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan.
Photobucket
Saat Merapi erupsi, dikhawatirkan burung ini terkena dampaknya. Baik itu dampak langsung yaitu tersambar awan panas, maupun dampak tidak langsung yaitu habitatnya yang rusak. Kemunculan burung ini tentu menggembirakan karena menunjukkan hewan ini ada yang selamat. Burung berputar melayang-layang berputar-putar dengan anggun. Melihat itu, saya segera menyambar kamera video dan kamera foto untuk mengabadikan peristiwa yang jarang saya lihat. Saya sudah sering melihat rekaman video burung elang yang terbang. Bahkan mungkin dengan kualitas yang lebih baik. Akan tetapi menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana hewan penguasa langit ini melayang, sungguh menimbulkan sensasi tersendiri.
Hadirnya burung elang ini seolah-olah mengabarkan geliat warga lereng Merapi yang mulai bangkit menata diri. Wilayah yang kami layani adalah desa Balerante, yang sebagian wilayahnya menjadi zero ground karena tersapu awan panas. Rumah, pohon, ternak, harta benda warga hangus oleh kegarangan suhu piroklastik yang dimintahkan oleh Merapi.
Photobucket
Zero Ground
Photobucket
Korban awan panas
Photobucket
Hangus
Meski kediaman mereka tak ubahnya seperti padang tundra, namun warga Balerante tak menyerah. Bahu membahu dengan relawan, merek menata kembali kehidupan mereka. Ada yang membersihkan perabotan dengan mesin semprot. Ada yang membuat rumah-rumah bambu untuk tempat tinggal sementara. Ada yang mengirimkan air bersih. Ada yang mulai menghijaukan lereng Merapi dengan menenam bibit-bibit pohon. Ada denyut kehidupan di sana.
Photobucket
Dengan  pak Zainu, kepada dusun I, desa Balerante, kami mengobrolkan tentang banyaknya "wisatawan bencana" yang berduyun-duyun masuk lokasi, terutama pada hari libur. Sebagian warga mengambil kesempatan itu untuk mendapatkan limpahan rejeki dengan membuat portal-portal swasta. Berbekal sebatang bambu yang dilitangkan di jalan, mereka mencegat kendaraan "wisatawan" yang melintas, berharap mendapatkan "sumbangan sukarela."  Terhadap fenomena itu, warga Balerante membuat kesepakatan yang berbeda. Mereka tidak membuat portal-portal untuk menarik sumbangan. "Kami hanya meminta supaya setiap orang yang datang untuk menanam 2 batang pohon," ujar Zainu. Wow...ini sebuah keputusan yang berpikiran jauh ke depan. Mereka tidak tergoda untuk mendapatkan sumbangan dengan mudah dan cepat dinikmati. Sumbangan uang akan segera habis. Akan tetapi pohon yang tertanam akan memiliki manfaat yang lebih besar dan lebih lestari.
Inilah kenikmatan menjadi relawan. Kami tidak hanya memberi bantuan saja, tetapi terlebih dari itu, kami mendapatkan pelajaran-pelajaran kehidupan dari banyak orang.
Rekaman Video Elang Jawa
Photobucket
__________________All About Writings

GKI SW Jateng GKI KlatenBlog WawanNulis Yuk