Rabu, 18 Mei 2011

Posted by Purnawan Kristanto on/at 01.03

Ngebrik
Saat erupsi, Merapi menyemburkan lava pijar dan menimbulkan awan panas. Jatuh banyak korban di antara warga yang bermukim di lereng tertinggi Merapi. Para relawan bergegas menolong para penyintas. Lalu terjadilah situasi chaos. Penyebabnya karena ada gangguan komunikasi. Relawan kesulitan berkoordinasi melalui komunikasi radio karena ada orang yang melakukan interferensi gelombang radio. Para relawan sering menyebutnya ngejam.
Dalam komunikasi radio, ada satu kanal gelombang yang digunakan untuk mengirimkan dan menerima sinyal radio secara bergantian. Jika ada dua orang yang mengirimkan sinyal secara bersamaan, maka sinyal yang lebih kuat akan menutup sinyal yang lebih lemah. Atau jika dua sinyal itu sama kuat, maka justru kedua sinyal tidak akan terdengar oleh orang lain. Hal inilah yang dilakukan oleh orang yang ngejam. Dia akan terus-menerus memencet tombol PTT (Push To Talk) sehingga orang lain tidak punya kesempatan untuk berbicara.
Dalam keadaan yang genting, ketika nyawa manusia menjadi taruhannya, justru ada orang dengan sengaja mengganggu komunikasi para relawan. Selain ngejam, ada juga orang yang mengganggu dengan melontarkan komentar-komentar yang tidak pantas. Misalnya, ketika para relawan sedang sibuk mengevakuasi para korban luka-luka, dengan tega ada orang berkomentar: "Wis ben modar sisan" (biar mampus).
Para pemakai radio yang pemula jika mendapat gangguan ini biasanya hanya bisa pindah kanal frekuensi. Mereka tidak bisa menegur pelakunya karena tidak tahu siapa yang melakukannya. Apalagi jika pelakunya menggunakan pesawat Handy Talkie (HT) yang bisa digunakan untuk berpindah-pindah lokas. Namun bagi penggila radio komunikasi, mereka dapat melacak keberadaan 'teroris' di udara ini. Hal ini diungkapkan oleh pa Argo, seorang breaker senior di kota Klaten. Bagi yang telinga breaker yang terlatih, mereka bisa cepat mengenali siapa yang sedang berbicara meskipun orang tersebut belum memperkenalkan diri. Mereka mengenali dari modulasi atau karakter suara. Bagi telinga awam, orang yang sedang berbicara di HT atau rig itu terdengar sama. Tapi bagi yang sudah kampiun, mereka bisa mengenali siapa yang sedang berbicara dan bahkan tahu menggunakan pesawat milik siapa. Misalnya saya biasa berkomunikasi menggunakan rig merek "K." Saat saya meminjam rig punya orang lain, lawan bicara ini langsung bisa menebak, "Mas Wawan menggunakan perangkat milik pak B, ya?"
Para pandemen radio gelombang pendek ini juga bisa memburu lokasi pemancar tertentu. Mereka menyebutnya "Fox Hunting." Di antara komunitas mereka ada kompetisi untuk perburuan ini. Caranya ada salah satu anggota menjadi "buruan" yang bersembunyi. Setelah itu dengan membawa antene pengarah, anggota komunitas yang lain melacak buruan. Karena jammer sudah dianggap keterlaluan maka para relawan Merapi memutuskan untuk memburu pelakunya. Berbekal antene pengarah, diam-diam mulai melacak pelakunya. Ketika lokasinya sudah dekat, tiba-tiba jammer ini mematikan perangkatnya. "Waktu itu pukul 2 pagi. Sinyalnya sudah sangat kuat, tiba-tiba orangnya mematikan pesawatnya," tutur pak Argo.
Tanpa ada sinyal, maka mustahil melacak dan menangkap pelaku. Maka para relawan itu menyanggong di lokasi terakhir. Mereka nongkrong di angkringan terdekat sambil terus menghidupkan alat pelacak. Tiba-tiba pukul 4 pagi, orang ini menghidupkan kembali perangkatnya. Maka relawan pelacak segera melompat dari tempat duduknya dan memburu pelakunya. Hasil pelacakan membawa mereka pada sebuah rumah. Untuk memastikan, mereka mematikan saklar meteran listrik. Tanpa aliran listrik, perangkat pelaku tidak bisa memancarkan sinyal. Relawan kemudian menghidupkan radionya. Ternyata sinyal pengganggu hilang. "Pasti orang ini pelakunya," simpul mereka. Maka mereka langsung menerobos masuk ke dalam rumah dan menangkap pelakunya.
Uniknya, pelakunya adalah seorang anak kecil, namun dia melakukannya atas suruhan bapaknya. Bapaknya ini yang selalu mendampingi sang anak dalam ngejam. "Hebatnya, anak ini punya mental yang kuat. Saat dia ngejam, ada banyak relawan yang memaki-maki anak ini melalui udara, tapi anak ini tidak terpengaruh sama sekali," tutur pemilik toko elektronik Elita.
****
Pada tahun 1980-an, komunikasi via radio ini mengalami masa keemasan. Anak-anak muda saat itu merasa bangga jika bisa menggenggam pesawat CB (Citizen Band).  Mereka cuap-cuap di udara bersama-sama. Jika ingin mengobrol lebih intensif, maka biasanya seseorang mengajak orang lain untuk "mojok." Maksudnya beralih ke frekuensi lain dan mengobrol hanya berdua di sana. Farid Hardja merekam fenomena ini dengan menciptakan lagu "Bercinta di Udara."

Lagu "Bercinta di Udara" dibawakan oleh Warkop
Seiring kemajuan teknologi komunikasi, maka karisma ngebrik ini mulai meredup. Banyak orang beralih ke HP yang jangkauannya lebih luas, lebih privat, lebih praktis dan harganya pun semakin murah. Meski begitu, perangkat komunikasi radio ini tidak lantas menjadi mati. Ternyata masih ada komunitas dan kelompok masyarakat tertentu yang masih memanfaatkan kelebihan perangkat ini. Yang paling banyak adalah komunitas relawan tanggap bencana. Ada keunggulan komunikasi radio yang belum tergantikan. Keunggulannya adalah:
1. Tidak membutuhkan pulsa. Sepanjang setrum baterai masih ada atau masih ada sambungal listrik, maka komunikasi via radio tidak dibatasi waktu.
2. Bersifat serentak. Jika HP hanya menghubungkan 2 perangkat (atau 3 jika conference call), maka komunikasi radio bisa menghubungkan banyak perangkat dalam waktu bersamaan. Dengan sekali pencet PTT, maka kita bisa mengirimkan pesan ke semua pemegang perangkat radio yang memonitor.
3. Tidak tergantung pada BTS dan traffic seluler. Saat gempa mengguncang Jogja dan Jateng tahun 2006, ada banyak menara BTS yang roboh sehingga relawan kesulitan berkomunikasi via HP. Atau jika menara BTS masih berdiri, lalu lintas komunikasi seluler ini melonjak tinggi sehingga pengguna sulit untuk menghubungi atau dihubungi. Kiriman SMS juga terlambat. Hambatan ini bisa dihindari dengan radio komunikasi.
Di samping kelebihan, komunikasi via radio juga memiliki sejumlah keterbatasan:
1. Rentan terhadap gangguan. Seperti uraian di atas, komunikasi radio mudah sekali diganggu baik itu secara sengaja atau tidak sengaja (tertimpa luberan sinyal atau sering disebut kena spleteran).
2. Mudah dikuping. Untuk pembicaraan yang bersifat rahasia maka komunikasi radio ini bisa didengarkan oleh orang lain.
3. Agak ribet. Pengguna harus belajar mengenali fasilitas yang terdapat pada perangkatnya supaya bisa digunakan maksimal. Jika ingin memperluas jangkauan, pengguna bisa menambah antene luar. Akan tetapi supaya hasilnya bagus, ada rumus-rumus tertentu yang harus dihitung. Misalnya berapa panjang kabel dan tinggi
antena.
Kecapekan
Secara pribadi saya mengenal komunikasi radio ini saat menjadi relawan gempa 2006. Setelah itu berhenti agak lama. Saat menjadi relawan pada erupsi Merapi 2010, saya kembali menenteng HT. Setelah masa tanggap darurat selesai, eks relawan ini tetap berkomunikasi dengan radio setiap malam. Beberapa orang kemudian bergabung ke dalam komunitas di udara. Mereka adalah orang-orang yang pernah menjadi relawan gempa dan masih menyimpan perangkat radio. Tak terasa sudah ada sekitar 20 orang yang bergabung dalam frekuensi 147.360 MHz. Kami menamakan jalur ini dengan jalur 'Kemanusiaan, Perdamaian, Cinta Kasih dan Budaya." Hampir semua anggotanya tinggal di kota Klaten.
Breaker
Karena komunitas ini masih baru, maka kami mengadakan Kopi Darat pertama supaya bisa saling mengenal. Selama ini kami hanya bertegur sapa di udara, namun ada yang belum lihat wajahnya. Komunitas ini merupakan gabungan dari breaker yang sudah sangat senior dan breaker pemula.
Komunitas lain yang cukup menarik ada di frekuensi 142.320 MHz yaitu komunitas "Kabar Baik." Setiap subuh mereka mengudara. Menjelang fajar itu mereka mengadakan saat teduh bersama-sama. Ada yang memulai dengan nyanyian, kemudian disambung dengan pembacaan Firman Tuhan, disusul menyanyikan pujian dan diakhiri dengan berdoa syafaat. Jangan bayangkan persekutuan ini berlangsung di satu tempat. Ibadah di udara ini diikuti oleh orang-orang di Solo Raya (Solo, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Womogiri, dll). Masing-masing anggota mengudara dari kota masing-masing. Uniknya, ibadah ini mengalir dengan lancar. Tidak ada yang rebutan ngomong.  Misalnya, saat anggota dari Solo akan menyampaikan Firman, dia meminta anggota yang di Sukoharjo untuk membacakan ayat Alkitab. Orang yang disuruh ini sigap melaksanakan. Usai penyampaian Firman, secara bergiliran para anggotanya menyanyikan pujian. Ada yang lucu-lucu di sini. Ada yang tidak hafal syairnya, ada pula yang nadanya tidak pas. Namun itu tidak menjadi soal. Saat berdoa syafaat, masing-masing anggota mengemukan beban doa masing-masing. Setelah itu, mereka saling mendoakan di udara. Sebuah persekutuan yang indah menjelang fajar!
***
Untuk membeli peralatan komunikasi radio memang tidak murah. Kalau untuk perangkat Handy Talkie (HT), kita harus merogoh kocek sebanyak Rp. 600 ribu s/d Rp. 1,2 juta tergantung merek. Pepatah Jawa mengatakan Jer Basuki Mawa Bea,  ada harga ada rupa. Semakin mahal harganya, kualitas perangkatnya semakin bagus. Meski begitu, akhir-akhir ini kami menemukan HT buatan Cina yang harganya relatif murah tetapi dengan kemampuan yang ngedab-edabi.
Kelemahan HT adalah jangkauannya yang terbatas. Biasanya hanya bisa menjangkau radius 10 km, tergantung lokasi. Untuk daya jangkau yang lebih luas, dibutuhkan pesawat rig. Daya jangkau pesawat bisa lebih dari 100 km tergantung topografi setempat. Sebagai contoh, pesawat rig saya yang ada di Klaten bisa mendengar dan berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di Jawa Timur (Madiun, Ponorogo dll).
Harga rig bervariasi antara Rp. 800 ribu s/d Rp. 2 juta. Kalau hanya punya rig, Anda belum bisa mengudara. Anda masih harus membeli power supply (sekitar Rp. 500 ribu), antenne (Rp. 150-Rp. 400 ribu), pipa dan ongkos tukang antena.
Karena biayanya yang lumayan menguras kantong, maka Anda sebaiknya berpikir masak-masak sebelum menggunakan perangkat ini. Kalau sekadar coba-coba, cobalah untuk menggunakan HT lebih dulu atau membeli rig bekas. Namun meskipun mahal, kami sudah merasakan manfaatnya. Kami bisa bertukar kabar dengan cepat. Kami bisa mendapatkan informasi dengan cepat. Misalnya kami bisa mengetahui kondisi Merapi terkini atau memantau lalu lintas di Klaten dengan mendengarkan frekuensi Polisi Lalu Lintas.
Berikut ini frekuensi pemantauan Merapi:
  • Pos Turgo Asri frek 149.200 MHz untuk pemantauan Kali Boyong dan Kali Code (Yogyakarta)
  • Pos Balerante frek 149.070 MHz untuk pemantauan Kali Woro dan Kali Gendol (Klaten)
  • Pos SKSB frek 149.440 MHz untuk pemantauan Kali Opak, Kali Gendol dan Kuning (Yogyakarta dan Klaten)
  • Pos Kompag freq 148 .280 MHz untuk pemantauan Kali Putih,  Kali Apu, Kali Pabelan dan Kali Blongkeng (Muntilan)

GKI SW Jateng GKI KlatenBlog WawanNulis Yuk