Rabu, 18 Mei 2011

Posted by Purnawan Kristanto on/at 18.46

12974139081001834846
Ini adalah rumah bu Endang, warga desa Sirahan, kecamatan Muntilan, Magelang. Tak pernah terbersit di benak ibu Endang bahwa akan mendapat berkubik-kubik pasir, yang langsung di antar langsung ke rumahnya. Rumahnya berjarak lebih dari 500 meter dari kali (sungai) Putih. Sepanjang sejarah kebencanaan, sungai itu tidak pernah mendapat aliran lahar dingin Merapi.
Akan tetapi dugaannya meleset. Lahar dingin yang biasanya melewati kali Krasak, kali ini justru menyasak (menerjang) kali Putih. Akibatnya, ratusan orang di sepanjang kali Putih terpaksa mengungsi. Melihat itu, bu Endang dengan sukarela membuka pintu rumahnya untuk menampung para pengungsi. Rumahnya cukup besar dan masih ada tanah yang luas untuk mendirikan tenda.
Tanggal 10 Januari Merapi memberikan kejutan lagi. Aliran lahar dingin tidak lagi menuruti aliran sungai tetapi menerabas langsung ke pemukiman penduduk pada malam hari. Unggul, anak laki-laki bu Endang, terpana menyaksikan aliran lahar dingin. "Fantastik!" ujar Unggul. Dia melihat gelombang banjir lahar dingin ini mirip dengan naga yang sedang berdiri. Dengan laju yang sangat cepat naga lahar dingin itu menerjang apa saja yang ada di depannya. Warga menjadi panik dan segera naik ke atap rumah.


Photobucket
Ini adalah jalan aspal yang tergerus aliran lahar dingin
Jalan aspal di tengah kampung yang biasanya menjadi jalan manusia mendadak berubah menjadi jalan air dan pasir. Warga dipisahkan oleh aliran lahar dingin yang sangat deras. Saat kejadian, uami bu Endang berada di seberang jalan, depan rumahnya. Dia segera naik ke atap masjid. Sementara itu bu Endang, Unggul dan warga lain naik ke atap rumah. Hujan turun sangat deras. Malam gelap gulita karena aliran listrik mati. Warga yang mengungsi di rumah bu Endang menjadi panik melihat gelora aliran pasir di  bawah mereka. Bu Endang menyaksikan sepeda motor dan mobilnya telah terseret banjir lahar.
Ada beberapa warga yang akan nekat menyeberangi banjir itu untuk menyelamatkan diri. Namun bu Endang mencegahnya. "Jangan! Kalau kita tetap di sini memang bisa saja mati. Tapi kalau nekat mencebur, kalian juga bisa mati terseret arus, Namun setidaknya kita masih aman di sini. Kita tetap saja di sini sambil menunggu bantuan datang," cegah bu Endang. Dalam hati, dia merasa heran dengan ketenangan dan kejernihan dalam berpikir. Padahal saat itu dia juga sedang mencemaskan keselamatan suaminya. Sementara itu, sang suami berusaha mengabarkan keberadaan dirinya. Dalam kegelapan malam, dia meyorotkan senter ke wajahnya supaya bisa dilihat oleh keluarganya yang ada di seberang. Usahanya membuahkan hasil. Bu Endang melihat posisi suaminya yang sedang nangkring di atas kubah mesjid. Hal ini membuatnya tenang.
Tengah malam, tim SAR akhirnya datang. Namun mereka tidak bisa mendekat karena rakit darurat tidak dapat merapat. Akhirnya mereka hanya bisa melemparkan tali. Tali itu dibentangkan antara rumah bu Endang dengan posisis tim SAR. Dengan berpegang pada seutas tali itu, bu Endang dan warga yang mengungsi di rumahnya merambat pelan-pelan ke seberang. Tubuh mereka terperosok di dalam kubangan lumpur pasir setinggi dada orang dewasa.  Sementara itu suami bu Endang dievakuasi juga dengan tali. Bedanya, dia tidak merambat tetapi meluncur seperti dalam permainan outbound yaitu flying fox.
****
Bu Endang dan suaminya sebenarnya memiliki kesempatan untuk menyelematkan harta bendanya. Sebelum terjadi banjir lahar, bank tempat suami bu Endang bekerja sudah menawarkan untuk mengontrakkan rumah di tempat lain. Akan tetapi mereka menolak.
"Kami bisa saja mengunci pintu dan jendela rumah kami sehingga ketika banjir lahar itu datang, perabotan kami tidak rusak," kata bu Endang. Namun nurani mereka tidak tega melakukan itu. "Saya tidak tega meninggalkan tetangga-tetangga saya," kata bu Endang.
Maka bu Endang membuka rumah untuk menampung pengungsi. Sepedamotor dan mobil dikeluarkan dari garasi supaya bisa menampung lebih dari 200 orang. Dia juga membuka dapur umum untuk memberi makan warga yang mengungsi di rumahnya.
Ketika banjir lahar besar melanda, bu Endang tidak sempat mengunci rumah sehingga daun pintu dan jendela jebol. Mobilnya terhanyut. Sepedamotornya terbenam dalam pasir. Karena sudah  tidak bisa dihuni maka bu Endang mencopot kusen, atap dan barang-barang lain yang bisa digunakan. "Jika nanti bisa membangun rumah lagi, kami tidak memulai dari nol karena sudah punya kusen dan lain-lain," ungkap bu Endang.
Peristiwa ini seolah menggenapi harapan yang disampaikan oleh [almarhum] pdt. Adi saat memimpin Bidston Ucapan Syukur di rumah Bu Endang : "Biarlah keluarga dan rumah yang segar ini dapat menjadi berkat bagi masyarakat sekitar"  Yang menarik, bu Endang ini belum lama menjadi pengikut Kristus, namun sudah mampu menampakkan wajah Yesus dalam kehidupannya.
Keputusan untuk tidak mengungsi dan membuka rumahnya bagi para pengungsi menyebabkan kerugian materi yang tidak sedikit. Meski begitu, bu Endang dan suaminya tidak menyesali keputusannya itu. Warga desa Sirahan, Muntilan ini telah menghayati dan mempraktikkan nasihat St. Paulus, "Janganlah hanya memikirkan diri sendiri. Pikirkan juga orang lain dan apa yang baik baginya."

Foto-foto selengkapnya ada di sini dan video ada di sini.

Photobucket
Delivery order ala Merapi: Pasir langsung diantar ke depan rumah
Photobucket
Terbenam separo

Photobucket
Terlupa?
Photobucket
Depan rumah ini adalah jalan aspal yang tergerus lahar dingin
Photobucket Photobucket PhotobucketPhotobucket Photobucket

GKI SW Jateng GKI KlatenBlog WawanNulis Yuk